Memori yang Hilang

11 1 0
                                    

"Huh, ini, ini di mana? Kenapa aku bisa ada di sini???" Dodi berlahan membuka matanya, dia melihat sekeliling dan menyadari bahwa dia sedang ada di kamar.

Dodi pun terheran-heran, mengapa dia bisa ada di sini, "Jam berapa sekarang? Mengapa aku masih di kamar, bukankah sekarang sudah siang?"

Dia mencoba untuk bangkit, dia merasa sakit pada kepalanya. Kepalanya terasa berdenyut dan dia merasa dunia sedang perputaran cepat. Dengan kekuatan penuh Dodi mencoba berdiri, dia mencoba berjalan dan kembali menyadari jika dia masih menggunakan seragam sekolah.

Dengan rasa heran yang berkepanjangan, tiba-tiba dia mendengar suara ibunya yang sedang menelepon saat sudah hampir di ruang tamu.

"Baiklah, terima kasih bu. Iya, saya juga berharap dia segera pulih. Saya juga sangat khawatir dengan keadaan anak saya. Sekali lagi terimakasih atas semua bu."

"Ibu, ibu sedang menelepon siapa? Kenapa ibu terlihat sedih?" tanya Dodi begitu ibunya selesai menelepon.

"Dodi! Nak, kamu sudah sadar nak?!" Ibu seketika langsung memeluk putranya sembari menangis.

"Apa, apa yang sebenarnya terjadi ibu? Apakah ibu baik-baik saja?" tanya Dodi yang bertambah heran.

"Apakah kamu masih merasa sakit nak? Bagaimana keadaan kepalamu, kamu masih pusing???"

"Eh, masih sedikit pusing sih. Tapi, memangnya ada apa ibu? Mengapa ibu bersikap seperti ini? Memangnya terjadi sesuatu???" Dodi masih menanyai ibunya yang terdiam sejenak.

"Nak apakah kamu ingat. Kamu sempat berkelahi di sekolah dan kamu pingsan sebagai akibatnya!" Ibu berkata dengan suara gemetar sambil terus berlinang air mata.

"Apa?! Kapan? S-sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri?"

"Sudah dua hari yang lalu nak. Ibu khawatir sekali sama kamu! Ibu takut nak, ibu takut kamu ngak bisa bangun lagi!"

Ibu kembali memeluk putra satu-satunya itu, kali ini pelukannya lebih erat dari sebelumnya. Di dalam pelukan itu, semua ingat membanjirnya Dodi. Dia ingat semuanya, kejadian itu, perkelahian itu. Semua terekam jelas dalam ingatannya.
.
.
.
.
"Oi Bayu, kamu ngak makan nasi? Sesekali makan nasi gih!" Eko menghampiri Bayu dan Dodi sambil membawa bekal nasi ayam.

"Ngak ah! Aku udah makan pagi tadi. Jadi aku sudah kenyang," jawab Bayu sambil mengunyah lumpia.

"Kalau makan jangan sambil ngomong Bayu. Nanti kamu tersedak loh," ujar Dodi yang berada di sebelahnya.

Bayu hanya merespon perkataan Dodi sambil nyengir. Saat hendak menyuap nasi Eko melihat Dodi yang sedang makan nasi goreng dengan tatapan berminat, "Wih, berapa harga nasi goreng yang kamu beli Di?"

"Oh, ini harganya tiga ribu rupiah. Enak lo, kamu mau mencobanya???" tawar Dodi sembari menyodorkan nasi gorengnya.

"E-engak Di! Aku udah bawa bekal kok, kapan-kapan aja deh aku coba beli," tolak Eko tersenyum.

Tak lama berselang beberapa anak yang lain datang bergabung untuk makan bersama dengan mereka bertiga. Melihat hal ini Breo pun tersenyum kecut, dia mendekati mereka dan mulai menganggu mereka, "Haduh-haduh, lu pada kenapa sih masih mau makan bareng Si Tuli itu? Orang pendengaran minus kayak dia mana nyambung kalau di ajak ngomong!"

"Lah buktinya, nyambung-nyambung aja kok. Ya kan Di?" Dodi hanya mengangguk mendengar jawaban Bayu, "Seharusnya kamu itu kagum punya teman kayak dia. Walaupun sekarang pendengar Dodi tidak seperti dulu, dia masih tetap semangat mencari ilmu dan masih mempertahankan prestasinya," ucap Bayu lagi.

"Halah! Mempertahankan dari mana! Buktinya nilainya banyak yang turung tuh! Lu inget kan dia pernah dapat nilai 50 saat ujian matematika. Biasanya 'anak berprestasi' kayak dia nilainya kalau ngak 100 ya 90~," nyinyir Breo lagi.

The Lost Twin (First Version)Where stories live. Discover now