"Kalau kamu tidak mau menikah dengan Nuha baiknya dibatalkan saja," ucap ibunya setelah mereka sampai rumah.

Ayahnya Ghalib tidak banyak berkomentar, hanya memperhatikan raut wajah putra bungsunya itu.

"Kamu sedih terus juga tidak akan membuat Helena bangkit lagi dari kuburnya," ketus ibunya dengan emosi. "Bukan Mama egois tidak memikirkan perasaan kamu yang baru saja kehilangan calon istri, Lib. Mama hanya ingin kamu dapat wanita yang baik dan tulus mencintai kamu. Mungkin banyak yang menyukai kamu tapi belum tentu setulus Nuha."

Ghalib hanya menundukkan kepalanya merasa bersalah kepada ibunya. Tidak ada yang salah dari perkataan ibunya, ketika di rumah Nuha tadi ibunya tahu bahwa putranya terlihat terpaksa datang ke rumah teman kecilnya itu.

"Aku akan jalani pernikahan ini, Ma. Mungkin benar apa kata Mama bahwa Nuha bisa jadi penyembuh hati Ghalib."

Ghalib langsung menuju kamarnya karena tidak ingin mendengar luapan emosi ibunya lagi, juga Ghalib ingin membaringkan tubuhnya karena merasa lelah dengan beban pikiran dan hatinya.

Di tempat lain, Nuha sedang tersenyum bahagia, penantian cintanya selama ini akhirnya berbuah manis. Satu bulan lagi dirinya akan menyandang status seorang istri dari orang yang selama ini dicintainya.

"Assalamu'alaikum, Mae," ucap Nuha pada sahabatnya melalui saluran telepon.

"Wa'alaikumsalam, Nuha. Ada apa malam-malam begini telepon?" tanya seseorang di sebrang telepon yang diketahui bernama Mae, sahabat dekat Nuha.

"Aku ingin cerita, Mae." Senyum manis itu tidak pudar dari wajah manisnya.

"Cerita apa?" tanya Mae penasaran.

"Akhir bulan depan Insyaallah aku akan menikah."

"Alhamdulillah akhirnya kamu nyusul aku juga melepas masa lajang. Sama siapa?"

"Kamu percaya gak kalau yang melamar aku itu Ghalib?"

"Jadi Ghalib calon suami kamu? Memang jodoh gak kemana ya, tiga tahun lalu ditolak sekarang balik dilamar. Masya Allah aku ikut bahagia Nuha, jodoh emang gak akan kemana ya."

"Alhamdulillah, Doakan agar dilancarkan sampai hari H."

"Aamiin."

"Tolong dirahasiakan ya dari teman-teman mengajar atau pun kuliah!" pinta Nuha.

"Siap, karena memang seharusnya sembunyikan pinangan umumkan pernikahan dan baiknya kamu umumkan mendekati hari H saja."

Nuha mengahkhiri teleponnya dan mengucapkan salam pada sahabat dekatnya itu.

Andai Islam tidak tidak memerintahkan untuk menyembunyikan pinangan dapat dipastikan bahwa Nuha akan mengumumkan pada dunia bahwa dirinya adalah calon istri dari seorang Ghalib Abdullah, pria yang selama ini dicintainya. Sayangnya dirinya adalah wanita yang sedang berusaha menyelami ilmu agama hingga berusaha taat dalam menjalankan setiap aktivitasnya.

"Rasanya pengen bikin status kalau saja tidak ada perintah untuk menyembunyikan pinangan," gumam Nuha dengan senyum bahagia yang selalu terpatri di wajahnya.

***

"Mae, maaf kalau selama ini aku banyak salah sama kamu. Aku pasti kangen sama kamu setelah aku pindah ke Jakarta. Setiap hari biasanya kita bertemu di sekolah dan mulai minggu depan aku harus ikut suami ke Jakarta," ucap Nuha dengan wajah memancarkan kesedihan.

Hari ini adalah hari terakhir Nuha mengajar di sekolah atau pun di tempat les. Tiga tahun mengajar di salah satu sekolah swasta Islam di Bandung banyak mengajarkan berbagai hal pada Nuha. Rekan-rekan sesama guru yang begitu menyayangi Nuha sebagai guru termuda membuat Nuha berat untuk meninggalkan sekolah tempatnya mengajar. Isak tangis para guru dan juga murid-murid dalam melepas Nuha di hari terakhirnya menandakan bahwa Nuha adalah sosok guru yang begitu disayangi.

"Bu Nuha pamit ya, maafkan Bu Nuha selama mengajar kalian kalau pernah menyakiti. Bu Nuha berharap kalian menjadi anak-anak yang baik, membanggakan dan juga semoga kalian sukses di kemudian hari," pamit Nuha kepada murid-muridnya.

Salah seorang murid perempuan maju dan langsung memeluk Nuha dengan erat.

"Bu Nuha kami juga minta maaf dan semoga Bu Nuha bahagia."

Suasana menjadi riak dengan isak tangis. Nuha tidak pernah menyangka bahwa kepergiannya akan menimbulkan suasana yang menyebabkan sekolah menghentikan proses belajar mengajar selama dua jam. Nuha hanya berpikir apabila dia pulang ke Bandung nanti akan mampir ke sekolah tempatnya mengajar.

Nuha mengemasi barang-barang pribadinya untuk dibawa pulang ke rumah. Di luar tepatnya di parkiran sekolah, calon ibu mertuaya dan ibunya sudah menunggu untuk menjempunya. Nuha berjalan beriringan dengan Mae menuju parkiran. Isak para siswa masih terdengar samar-samar dan mereka melihat Nuha berjalan di lapangan dengan Mae. Para siswa melambaikan tangannya sebagai salam perpisahan begitu pun dengan Nuha.

"Rame tangis para siswa karena bu gurunya resign. Ya ampun calon menantu gak nyangka kalau bisa buat heboh sekolah. Biasanya kalau gurunya resign terus ditangisi itu berarti bu gurunya baik," ucap Lilis penuh kekaguman, "nah Ghalib calon istri kamu sebaik itu ternyata," lanjutnya dengan melihat Ghalib yang duduk di kursi kemudi mobil.

Ghalib tidak memberikan respon apa-apa hanya fokus pada ponsel pintarnya.

"Tuh Nuha datang juga bareng sama Mae," ucap Fatimah dengan jempol tangannya menunjuk pada Nuha yang berjalan beriringan dengan Mae.

Ghalib yang fokus dengan ponselnya mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjuk oleh calon ibu mertuanya. Ghalib melihat Nuha ternyata semakin cantik pikirnya. Dulu yang biasa menggerai rambut dengan jepit kecil itu sekarang sudah sempurna dengan hijab. Kulit yang dulunya sedikit gelap kini lebih bersinar dengan warna kuning langsat.

"Barang-barangnya disimpan di bagasi saja," titah Lilis. "Ghalib, tolong buka kunci bagasinya!" perintah Lilis pada putranya.

Nuha kaget ternyata Ghalib ada dan akan ikut membeli seserahan. Dari tadi dia hanya fokus pada ibunya dan calon mertuanya hingga tidak menyadari kalau di dalam mobil di bagian kemudi ada pria yang berstatus calon suaminya.

"Ada Ghalib, Ma?" tanya Nuha pada dua wanita paruh baya itu.

"Iya Ghalib akan ikut dengan kita membeli seserahan buat kamu. Dia baru datang tadi pagi dari Jakarta."

Nuha hanya mengangguk dan langsung masuk ke bagian belakang kemudi.

"Kok di belakang, di belakang itu Mama, Nuha," ucap calon ibu mertuanya dengan senyuman menggoda.

"Terus Nuha duduk di mana?" tanya Nuha dengan polosnya.

"Di depan bareng sama calon suami," calon ibu mertuanya itu hanya terkekeh melihat Nuha yang memperlihatkan ekspresi kagetnya.


Bersambung

Penantian CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang