Berusaha Move On

12 4 0
                                    

Nuha menunggu dan terus menatap layar ponselnya. Pesan yang beberapa waktu lalu dikirim kepada pujaan hatinya itu masih bercentang abu, tidak berubah menjadi biru. Benar, Ghalib mungkin membencinya dan enggan untuk kembali menjalin pertemanan dengan dirinya. Tak apa, Nuha merasa dirinya sudah berusaha untuk meminta maaf dan mencoba melupakan kejadian malam itu. Bila sudah kesal dan membenci, Nuha tidak bisa berbuat apa-apa selain akhirnya kembali menangis karena benar-benar merasa tertutup dengan peluang untuk kembali bisa dekat dengan Ghalib. Semua karena dirinya sendiri yang tidak bisa menahan perasaan.

Hari-harinya Nuha hanya bisa memandang layar ponselnya bahkan hingga satu bulan berlalu dari terakhir Nuha mengirim pesan, pesan itu masih bercentang abu tidak pernah berubah menjadi biru. Akhirnya Nuha selalu melihat pesan-pesan terakhir seolah pesan-pesan terakhir itu menjadi penawar rindu di kala hati Nuha ingin menyapa sang pujaan hati, padahal jelas pesan terakhirnya saja masih ceklis abu. Bukan hanya itu, Nuha pun sering stalking profil Ghalib setiap harinya. Selain membaca pesan terakhir, Nuha pun melihat profil Ghalib hanya untuk melihat foto profilnya dan melihat apakah Ghalib online atau tidak.

"Teh, mau di kamar terus dan gak akan keluar untuk makan?" Panggil ibunya.

Teh atau Teteh adalah sebuah panggilan untuk perempuan di Sunda. Nuha asli Sunda begitu pun Ghalib. Semenjak lahir hingga kini dewasa dan usia sudah cocok untuk menikah, Nuha tinggal di Bandung.

Nuha membuka pintu kamarnya dengan wajah lesu tanpa semangat. Keceriaannya pudar hanya karena sebuah penolakan cinta.

"Sudah satu bulan berlalu, Mama rasa sudah saatnya kamu semangat lagi. Kecewa boleh, tapi jangan sampai berkepanjangan. Kamu mengurung terus di kamar tidak akan membuat Ghalib datang dan berubah pikiran untuk menikahi kamu, Teh."

Nuha menatap wajah ibunya yang menampakkan raut kesedihan karena kondisi anaknya yang terpuruk. Air mata Nuha tiba-tiba saja jatuh setelah menatap raut kesedihan di wajah ibunya.

"Maafkan Nuha, Mama. Nuha egois memikirkan diri sendiri."

Fatimah memeluk putrinya itu dan ikut menangis. Fatimah merasa sedih melihat putrinya yang berbeda dari satu bulan yang lalu. Selama ini tak pernah dilihatnya Nuha yang begitu terpuruk. Ibu mana pun akan merasakan kesedihan yang lebih mendalam ketika anaknya sedih.

"Anak Mama kuat, Mama kangen sama Teteh yang selalu ceria dan selalu buat Mama bangga. Jangan terus-terusan berdiam diri di dalam kamar, karena Mama ada untuk mendengarkan cerita, Teteh."

"Kenapa harus Ghalib pria yang Nuha cintai selama ini, Ma? Nuha selama ini selalu menganggap teman-teman Nuha begitu lebay karena mereka banyak menangis karena cinta, ternyata Nuha merasakannya dan itu Menyakitkan." Nuha menangis tergugu di pelukan ibunya karena merasakan kesakitan atas penolakan rasanya pada pria yang dicintainya, pun dia merasa menjadi wanita yang dibeci oleh dia yang namanya masih apik tersimpan di hati.

"Tidak ada yang salah menurut Mama, karena cinta itu fitrah. Dari setiap masalah yang Allah timpakan itu adalah ujian pendewasaan. Anak cantik Mama harus semakin dewasa setelah ditimpa masalah penolakan ini. Yakinlah bahwa Allah sedang memepersiapkan sesuatu yang lebih baik untuk Teteh."

Fatimah melepas pelukannya lalu tangannya menghapus jejak air mata di pipi Nuha, sudah sangat lama Nuha tidak menangis seperti ini di hadapan ibunya.

"Sekarang makan dulu biar lebih kuat lagi dalam menghadapi masalah. Kalau fisik saja lemah bagaimana kedepannya menghadapi masalah lainnya karena dalam hidup ini kita butuh energi. Ingat pesan Mama! Jangan menyiksa diri sendiri apalagi melakukan tindakan yang membahayakan, karena Ghalib tidak akan datang hanya untuk menikahi."

Nasehat ibunya begitu manjur. Nuha akhirnya keluar dari bersemedinya setelah satu bulan mengurung diri di kamar. Bersemedi bukan untuk mendapatkan kekuatan tapi meratapi kesedihan.

Penantian CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang