Ungkapan Rasa

10 4 0
                                    

"Sebenarnya sudah lama aku nahan perasaan ini dan saatnya sekarang aku mau ungkapin kalau aku mau nikah dan hidup dengan orang yang aku cinta." Nuha memilin-milin ujung kemejanya dengan kepala menunduk memperhatikan jempol kakinya yang bergerak seirama.

"Keren kamu sebagai perempuan mulai duluan."

Ghalib tepuk tangan dan tertawa seolah ungkapan Nuha itu lucu. Jelas lucu bagi sebagian orang karena wanita memulai terlebih dahulu itu langka. Wanita biasanya malu tapi mau.

"Butuh tekad baja aku, Ghalib, seenaknya kamu malah ketawa."

Ghalib berhenti dari tertawanya dan menatap teman kecilnya itu yang malah memalingkan wajah ke arah lain.

"Emang siapa calonnya?"

"Hmm... Ghalib..." Bukannya menjawab, Nuha malah gugup dan akhirnya hanya menyebut nama teman kecilnya itu. Jangan lupakan jemari lentik itu yang terus saja memilin ujung kemeja.

"Kamu malah gugup, ditanya bukannya jawab." Ghalib mulai merasa gemas karena penasarannya itu belum juga terjawab.

"Kalau kamu jadi calon suami aku, mau?" Nuha mengangkat wajahnya demi melihat ekspresi Ghalib.

"Ha... ha... ha... bercanda kamu ini garing banget." Ghalib menganggap ucapan Nuha adalah sebuah lelucon yang pantas untuk ditertawakan. Ghalib tidak tahu bahwa sebenarnya Nuha gemetar ketika mengucapkan kalimat pernyataan tersebut.

"Aku gak bercanda. Aku serius."

"Maksud kamu?" Ghalib bertanya karena ingin memperjelas walau sebenarnya apa yang diucapkan Nuha sudah cukup jelas.

"Aku suka sama kamu dari kita masih SMA, Ghalib."

Nuha memandang wajah Ghalib yang nampak tidak menyangka kalau pria yang dimaksud adalah dirinya. Wajah Nuha nampak berkaca-kaca karena terharu dengan keberaniannya dan bahagia melihat wajah Ghalib kembali setelah cukup lama tidak bertemu.

"Kita hanya teman, Nuha," ucap Ghalib lirih. Ghalib berusaha menjelaskan status pertemanan mereka yang cukup dekat itu.

"Seorang teman pun bisa jatuh cinta." Nuha pun tak mau kalah untuk menyela penjelasan Ghalib.

"Dengan kamu seperti ini, ini sebenarnya merusak pertemanan kita."

"Aku hanya ingin merubah status pertemanan kita menjadi suami-istri." Nuha semakin berani bahkan mengesampingkan rasa malunya.

"Aku akan melanjutkan pendidikan S2 di Jakarta," Jawabnya. Ini adalah sebuah jawaban yang halus dengan harapan tidak menyakiti. Tapi tetap saja apabila sebuah harapan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan akan timbul kecewa hingga berujung sakit hati.

"Seorang yang masih S1 saja diperbolehkan kuliah dengan status menikah, apalagi kamu S2."

"Aku gak punya apa-apa. Uang saja masih dari orang tua," jelas Ghalib.

"Kita bisa cari bersama-sama." Nuha masih saja kukuh padahal jawaban Ghalib jelas menolak.

"Masalahnya bukan itu saja, Nuha!" Suara Ghalib menjadi meninggi karena merasa kesal dengan ungkapan Nuha.

"Aku hanya butuh jawaban antara mau atau tidak."

"Tidak!" jawab Ghalib kali ini dengan tegas.

"Kenapa?" Nuha menginginkan alasan yang jelas dari penolakan Ghalib.

"Aku belum siap, Nuha."

"Aku butuh jawaban yang jelas, dan bagiku itu bukan sebuah jawaban yang jelas bisa aku terima."

"Aku gak cinta sama kamu. Bagi aku, kamu itu hanya teman gak lebih. Dengan ungkapan kamu seperti ini, tanpa kamu sadari bahwa kamu sudah merusak pertemanan kita."

Penantian CintaWhere stories live. Discover now