Niat Melamar

16 4 2
                                    

"Burhan, besok saya dan keluarga berniat berkunjung ke rumahmu, apakah kamu bersedia?" tanya Santoso kepada Burhan. Keduanya berjalan keluar dari masjid kompleks selepas melaksanakan sholat isya.

"Boleh atuh, Santoso. Saya akan bicara pada Mamanya Ghalib kalau keluarga kalian akan datang," jawab Burhan dengan logat Sundanya.

"Ghalib bagaimana kabarnya? Saya tidak lihat dia dua hari ini ke masjid."

"Ghalib baik, dia lagi gak ada di rumah karena lagi urus-urus buat S2 di Jakarta. Besok juga dia balik lagi."

"Pantas saya tidak lihat."

Burhan dan Santoso adalah dua pria paruh baya yang berteman baik. Keduanya berteman karena bekerja di perusahaan yang sama dengan jabatan yang sama tapi beda departemen. Ditambah lagi mereka berada pada lingkungan tempat tinggal yang sama. Kompleks tempat tinggal mereka berada di sebuah kawasan perumahan yang cukup megah, rumah-rumah bergaya minimalis berjejer dengan rapi.

Burhan memiliki dua anak, yang satu perempuan dan yang satu laki-laki. Sama dengan formasi keluarga Santoso anak pertama perempuan dan kedua laki-laki. Jadi, Nuha sebagai anak pertama keluarga Santoso, sedangkan Ghalib anak kedua keluarga Burhan.

Menurut orang Sunda bahwa menikahkan anak cikal dan bungsu itu akan mendatangkan sebuah keberkahan dalam keluarga. Maka tak ayal Santoso merestui Nuha dan Ghalib karena percaya dengan keyakinan orang-orang Sunda tersebut. Padahal keharmonisan dan keberkahan rumah tangga terjadi dari mereka yang menjalaninya.

"Saya tunggu kedatangan keluarga kalian di rumah saya."

Keduanya berpisah di pertigaan kompleks, karena blok rumah mereka yang berbeda. Tak ada kecurigaan dalam diri Burhan kepada Santoso yang tiba-tiba saja niat bertamu di malam minggu.

***

Malam yang ditunggu-tunggu pun tiba. Gelapnya malam tidak menyurutkan niatan Nuha untuk mengutarakan rasa yang selama ini tersimpan di hatinya. Jantung Nuha terus berdegup lebih cepat dari biasanya, bahkan telapak tangannya pun terus-menerus mengeluarkan keringat. Ada rasa gugup, malu dan ingin mundur saja dengan perasaan tak karuan ini. Bayangkan saja oleh kalian perempuan memulai terlebih dahulu bahkan tanpa pengalaman dalam persoalan cinta.

Malam ini langit penuh dengan kemerlap bintang seperti mengerti bahwa benda langit yang indah di pandang mata ketika malam itu tengah memberikan semangat untuk Nuha. Andai perasaan tersebut dapat dikendalikan sudah pasti mundur adalah pilihan.

Penampilan Nuha sederhana tak banyak yang mencolok karena khawatir tetangga yang berada di luar curiga atas penampilan Nuha yang bertandang ke rumah Ghalib. Celana katun berwarna khaki dengan kemeja berwarna hitam dan tampilan rambut digerai dengan jepit kecil sebagai pemanisnya menambah kecantikan Nuha.

"Assalamu'alaikum..."

Santoso mengucapkan salam di depan rumah yang di depannya terdapat sebuah kolam ikan hias dengan suara gemericik air yang dibuat seperti air terjun di tembok rumahnya.

"Wa'alakumsalam..."

Dari dalam rumah terdengar suara Burhan yang menjawab salam dengan lantang. Pintu depan rumah itu akhirnya terbuka dengan menampilkan senyum khas Burhan dalam menyambut  tamunya.

"Akhirnya datang juga. Ayo masuk!" ajak Burhan.

"Fatimah..." sapa wanita yang berada di samping Burhan, Ibu Ghalib. Keduanya bercipika-cipiki sebagai teman yang biasa bertemu di pengajian ibu-ibu kompleks.

Burhan dan istrinya mengajak ketiga tamunya untuk masuk ke ruang tamu rumahnya.

Kedua keluarga akhirnya berbincang banyak hal, mulai dari menceritakan masa muda, pekerjaan hingga menceritakan anak-anak mereka. Ghalib masih belum terlihat batang hidungnya setelah 20 menit keluarga Santoso datang ke rumahnya.

Penantian CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang