Kita & Kanker - 14 🎗️

774 60 10
                                    

“Fin, ini bukan arah ke rumah sakit, deh

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“Fin, ini bukan arah ke rumah sakit, deh. Kita mau kemana?”

“Ada, deh. Nanti kamu juga tahu.”

“Ih, kamu gak berniat mau culik aku, kan? Aku teriak nanti, nih.”

“Coba aja, di sini sepi. Mau gimanapun kamu teriak, gak bakalan ada orang yang bisa nolongin kamu.”

Ucapan Fino membuat jantungku berdegup dua kali lipat lebih kencang. Ada-ada saja Fino ini, mau kemana dia membawaku? Aku sungguh takut. Apa jangan-jangan, selama ini Fino adalah orang jahat yang menyamar baik? Dan, dia memanfaatkan kesempatan ini untuk menyakitiku.

“Santai, Key. Mukanya jangan pucat gitu. Aku bukan orang jahat, dan aku gak berniat buat culik kamu. Aku hanya mau ajak kamu ke suatu tempat, yang aku jamin kamu pasti suka. Jadi, udah, ya, jangan tegang gitu.”

Aku berusaha menghilangkan ketakutanku. Aku mengambil napas sebanyak-banyaknya, untuk menggantikan napas yang tadi sempat tertunda karena saking tegangnya.

“Ah, ini dia. Kita udah sampai.” Fino memberhentikan mobilnya, tepat di bawah sebuah pohon. Lelaki itu melepas seat belt-nya, kemudian memberiku sebuah kode untuk melakukan hal yang sama. Aku menurut. Dengan pergerakan cepat, aku melepas seat belt.

Aku dan Fino lalu berjalan keluar dari mobil. Fino menggenggam jemariku, kemudian menuntunku berjalan mengikutinya.

“Kita mau kemana, sih?” tanyaku yang masih tidak bisa menerka tempat apa yang kini kami datangi.

Fino tidak menjawab, ia masih sibuk memandang ke depan. Aku tidak lagi mengulang pertanyaanku, sepertinya percuma saja aku kembali bertanya, karena Fino pasti tidak akan menjawab. Aku memilih menjelajahi pandanganku ke sekitar, dan menikmati semilir angin yang mulai berembus menusuk ke tulangku. Sekarang pukul 6 malam, tak heran bila angin yang kurasakan sekarang ini begitu kuat.

Akibat terlalu asyik menjelajahi pandanganku ke sisi sebelah kiriku, aku tak menyadari bahwa langkah kaki Fino berhenti melangkah. Aku memusatkan pandanganku ke depan, dan yang kudapati ialah suatu pemandangan yang begitu menakjubkan.

Ada sebuah danau dengan aliran air yang begitu tenang, tepat satu meter dari jejak kaki kami berada. Ditambah, gambar bulan yang terlihat memantul dari permukaan air tersebut.

“Amazing.”

Hanya satu kata yang mampu aku keluarkan, setelah berulang kali aku mengerjapkan mataku, dan memastikan bahwa aku sedang tidak berada di dunia fantasi. 

“Ayo, duduk sini.”

Fino berjalan, dan duduk di salah satu batang pohon yang menjalar keluar dari dalam tanah. Tanpa aku sadari, genggamannya pada jemariku sudah ia lepaskan. Aku menyusuli Fino, dan duduk di sebelahnya.

Kita & Kanker [Completed✔]Where stories live. Discover now