Kita & Kanker - 10 🎗️

728 65 9
                                    

Keesokan harinya, aku memilih duduk di taman lagi, berharap untuk menemui Fino, dan bercerita mengenai kehadiran Nayla kemarin

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Keesokan harinya, aku memilih duduk di taman lagi, berharap untuk menemui Fino, dan bercerita mengenai kehadiran Nayla kemarin. Ah, ngomong-ngomong tentang Nayla, perempuan itu tidak datang rupanya. Sepertinya, ucapannya kemarin hanya sekadar angin belaka. Buktinya saja, hingga sesore ini, ia belum menampakkan batang hidungnya. Akan tetapi, aku bersyukur bila perempuan itu tidak datang.

“Hai,” sapa seseorang, yang membuatku lantas menoleh. Orang itu tersenyum kepadaku, yang juga kembali kulontarkan sebuah senyuman manis untuknya.

“Hai juga, Fin.”

Fino duduk di sebelahku, lelaki itu memberikanku sebotol berisi air mineral. Fino ini seperti peramal saja, ia tahu bila aku sedang terserang rasa dahaga. Aku menerima botol tersebut, membuka seal-nya, kemudian meneguk airnya tinggal setengah botol.

“Haus banget, ya?” tanya Fino terkekeh.

Aku mengangguk. Bukannya tanpa alasan aku kehausan seperti ini, salahkan Fino yang membuatku menunggu hingga kurang lebih 1 jam. Jadinya, kan, aku dehidrasi.

“Maaf, ya, bikin kamu nunggu lama. Tadi, aku ada urusan bentar.”

“Iya, gak apa-apa, santai aja.”

“Kamu mau cerita apa hari ini?” tanyanya seperti hari-hari sebelumnya. Bisa dibilang, Fino ini sudah cocok menjadi seorang psikolog. Buktinya saja, ia selalu memahami saat kondisi hatiku tidak baik, dan ia juga selalu bertanya mengenai masalah apa yang terjadi pada hari-hari beratku. Rasanya, lelaki ini benar-benar istimewa.

“Kemarin, calon tunangannya mantan pacarku datang. Awalnya, aku tidak begitu meladeni dia. Akan tetapi, entah mengapa saat dia bertanya sama aku mengenai sebuah pertanyaan. Aku merasakan keganjalan yang aku gak tahu itu karena apa.”

Kulihat Fino mengernyitkan dahinya. “Coba deh, cerita versi lengkapnya. Aku masih gak nangkap maksud omongan kamu.”

Aku menarik napasku, kemudian mulai bercerita dari kedatangan Nayla, hingga saat ia yang bertanya mengenai sahabat. Oh iya, sebelumnya aku memang sudah pernah bercerita kepada Fino mengenai Nayla, dan Fino bilang, feel ku saat melihat Nayla itu bisa dikatakan dejavu.

“Setelah kamu cerita seperti tadi, aku jadi bimbang untuk mengatakan bahwa kamu hanya mengalami dejavu. Aku rasa, kamu memang mempunyai ikatan masa lalu dengan dia. Dan, aku rasa, may be kalian dulu pernah bersahabat. Coba, deh, kamu ingat-ingat lagi.”

Sesuai intruksi dari Fino, aku mencoba, yang lebih tepatnya memaksa pikiranku untuk kembali mengingat kejadian di masa lalu. Namun, lagi-lagi aku gagal mengingat. Bahkan, rasanya aku benar-benar tidak memiliki masa lalu yang berkaitan dengan yang namanya Nayla.

“Sudah, gak usah dipaksakan. Kalau memang, kamu rasanya gak punya ingatan sama sekali dengan Nayla, maka bisa jadi Nayla hanya berucap seperti itu untuk mengganggu kamu.”

“Ya, mungkin gitu kali, ya,” ujarku.

🎗️🎗️🎗️

Suara air yang mengalir dari mulut kran menemani pagiku kali ini. Aku tengah berada di toilet, membersihkan cairan merah yang mengalir dari hidungku. Ah, rasanya begitu tidak enak kala cairan ini mengalir datang, hidungku terasa sakit. Jika bisa memilih, aku lebih memilih tenggorokanku disiksa untuk meminum obat-obatan yang rasanya pahit, dibanding harus berada di posisi ini.

Tok … tok … tok ….

Suara ketukan pada pintu toilet terdengar begitu menggema. Aku yakin, itu ialah suster Lina.

“Sebentar, Sus.”

Setelah kupastikan tak ada lagi bercak merah yang tersisa di sekitar hidungku, aku pun berjalan mendekati pintu, dan membukanya. Benar bahwa suster Lina lah yang tadi mengetuk pintu.

“Adik udah gak apa-apa, kan?” tanyanya.

Aku mengangguk, lantas tersenyum, meyakinkan suster Lina bahwa aku sudah baik-baik saja.

“Ya sudah, kalau begitu. Ayo, makan dulu. Kamu daritadi belum makan, loh, nanti kamu ngedrop lagi.” Suster Lina membantuku berjalan dari toilet, menuju ranjangku. Ah, aku benar-benar seperti sudah tua saja, bahkan untuk berjalan harus dibantu.

“Terima kasih, Sus.”

Suster Lina menyerahkan semangkuk bubur kepadaku. Aku menatap bubur itu tak berselera, namun aku tetap menerimanya. Walau bagaimanapun, aku tetap harus mengisi perut kosongku dengan sedikit makanan. Awalnya tentu saja, lambungku menolak dimasuki makanan bertekstur lembek itu. Akan tetapi, lama kelamaan sepertinya lambungku sudah mulai menerimanya. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk aku menghabiskan bubur yang hanya semangkuk itu. Padahal biasanya, aku hanya perlu 10 menit untuk menghabiskannya.

“Nah, kalau begini, kan, kamu jadinya bisa cepat sembuh,” ujar suster Lina. Aku hanya tersenyum membalas ujaran yang berupa sebuah harapan itu. Jauh di lubuk hati terkecilku, selalu ada satu pertanyaan yang mengganjal. Apakah aku bisa sembuh?

“Suster tinggal bentar, ya. Kalau butuh apa-apa, nanti tekan tombol ini aja.”

Aku mengangguk. Sepeninggal suster Lina dari ruanganku, aku menarik napasku panjang. Berapa lama lagi aku harus berada di sini? Di ruangan serba putih yang benar-benar membuat diriku terlihat begitu mengenaskan. Ingin sekali aku kabur dari ruangan itu, namun, aku masih menghargai papa yang berjuang demi kesembuhanku.

Aku memperbaiki posisi dudukku, berusaha mencari tempat ternyaman. Kupejamkan dua bola mataku, berusaha menghilangkan semua pikiran negatifku. Seperti kata papa, aku yakin, aku pasti bisa sembuh. Mukjizat Tuhan memang tidak ada yang tahu. Dan, saat ini, alasan terbesarku untuk bisa sembuh ialah karena aku ingin melihat senyuman papa mengembang dengan sempurna, tanpa ada raut kekhawatiran yang menimpalinya.

Baru dalam hitungan menit, aku memejamkan mataku, suara decitan pintu membuatku dengan sangat berat membuka kelopak mataku yang sebentar lagi aku akan tertidur lelap. Aku menoleh, dan melihat siapa yang datang. Bukan suster Lina, melainkan, ah, iya, Nayla. Nayla yang datang. Aku memutar bola mataku jengah, pasti dia datang lagi untuk membuat pikiranku kacau. Aku yakin, pasti kedatangannya kali ini akan membawakan topik yang sama dengan kemarin.

“Hai, pasti tadi kamu nyariin aku karena gak kunjung dateng.”

Ucapannya membuatku kesal. Apakah dia sedang meledekku? Buat apa, aku mencarinya? Malahan bagus bila ia tidak datang hari ini. Akan tetapi, aku juga tidak bisa memungkiri bahwa aku sempat menunggu kedatangannya tadi. Bukan apa-apa, aku hanya dibuat penasaran dengan ucapannya. Apakah semua yang diucapkannya kemarin itu benar? Tapi, aku kembali teringat dengan kata-kata Fino. Bisa saja, ucapan Nayla itu hanyalah sebuah tipuan belaka, dan sengaja diucapkan untuk sekadar mengganggu hari-hari tenangku saja.

“Jangan gitu, dong, mukanya. Coba, deh, senyum dikit. Aku bawain kamu sesuatu, dan semoga setelah kamu melihatnya, kamu jadi ingat sama aku. Ya, itupun kalau kamu gak terkena amnesia, ya.”

Lagi-lagi, aku dibuatnya kesal dengan ucapan Nayla. Amnesia? Yang benar saja. Aku ini masih muda, tidak mungkin amnesia.

Ngomong-ngomong, aku penasaran dengan sesuatu yang dibawa oleh Nayla. Aku tak sabar, ingin segera mengetahui apa hal tersebut yang Nayla katakan dapat membuatku ingat padanya. Memangnya, dia tidak cukup bersandiwara, ya?

»»----------------¤----------------««

Ada kisah masa lalu yang belum sempat ditamatkan, hingga ia masih belum layak disebut kenangan. Maka dari itu, izinkan aku untuk sehari saja kembali pada masa itu. Aku janji, setelah menyelesaikannya, aku akan segera kembali.

Kita & Kanker [Completed✔]Where stories live. Discover now