Bagian 14A (Ares)

187 31 0
                                    

Antares Erlangga

Aku tergemap, menatap langit-langit. Pengakuan mengejutkan Mahes beberapa waktu lalu terasa seperti lelucon. Mahes, kakak sepupu yang dulu selalu membuatku kagum, ternyata memiliki kehidupan yang menyedihkan. Perilaku menyimpang, menyeretnya jatuh ke dalam kubangan setan.

Masih melekat dalam benak hari itu, hari terakhir kami bertemu. Seperti biasa, kami main game di kamar kosan Mahes sepulang dari hari kelulusanku. Sekilas, tak ada yang aneh dari sosok jangkung itu. Dia memang ramah, dan perhatian. Aku yang tinggal berdua sama Bibi karena tempat dinas Kak Annet di kota lain, menjadi cepat akrab dengan keberadaan Mahes.

Siang itu, udara terasa panas. Kuputuskan untuk numpang mandi di sana. Selepas mandi pun, Mahes bersikap biasa. Hingga tiba-tiba, kurasakan seseorang memeluk dari belakang saat aku berdiri sembari mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Jemari Mahes bergerilya meraba tubuh bagian depanku, sedangkan kepalanya dibenamkan di punggung. Sejak itu, rasa jijik dan kemarahan memutus segala ikatan. Hubungan persahabatan pun terhempas jauh bersama terpaan angin.

Tak kusangka, setelah itu Mahes semakin dalam mengarungi samudera hitam. Hingga berakhir tega menghabisi sang kekasih.

“Penjarakan aku, Res! Kumohon.” Ucapan Mahes saat di rumah sakit, masih berputar-putar di kepala, membuatku tak bisa berkata-kata. “Aku terlibat jaringan rahasia. Tak ada kata mantan anggota bagi mereka, kecuali mati. Tolong … aku belum mau mati.”

Mahes tergugu, sorot matanya redup membuktikan bahwa ia sedang putus asa.

Please, Res. Mereka sekumpulan iblis berwujud manusia. Karenanya, aku terpaksa ….” Kalimat Mahes menggantung. Tangisnya semakin menjadi. “A-aku membunuhnya, Res! Huhuhuu. Dia harus mati, huhuhuuu.”

“Dia siapa?” tanyaku terkejut.

“Salina.” Hening. “Wanitaku. Dia yang berhasil menyembuhkan perilaku menyimpangku. Tapi, aku tak bisa lepas dari jerat narkoba.” Mahes mengusap kasar wajahnya dengan selimut.

“Mereka akan menyiksanya jika masih hidup, juga dijadikan budak seks. Aku nggak sanggup, Res. A-aku sayang dia,” lanjutnya.

Ya Tuhan! Kuremas rambut sendiri, tak mengerti dengan keputusan keji yang diambil pria di hadapan.

“Kenapa nggak lapor polisi? Hah?” ujarku dengan perasaan campur aduk.

Mahes hanya menggeleng frustrasi.  “Mereka kerjasama dengan oknum polisi, Res. Aku nggak percaya siapa pun, selain kamu.”

“Siapa?”

Mahes lagi-lagi menggeleng, lalu menatapku dalam. “Aku tak tahu. Tapi, pimpinan jaringan itu sangat licin. Mereka ada di kota ini.”

Hening beberapa saat.

“Pemimpin mereka bernama Ohara,” kata Mahes lagi, membuatku sontak mendongak.

“Oke. Simpan info keterkaitan polisi dengan Ohara. Kita belum tahu siapa musuh.”

***

Hari ini terasa sangat panjang. Mahes telah resmi menyerahkan diri ke polisi sekaligus meminta perlindungan sebagai saksi. Kuharap, karena informasinya sangat membantu dalam proses penyelidikan tim, hukuman Mahes sedikit ringan. Paling tidak, bukan hukuman mati.    

Seperti biasa, Lola menyambut dengan rentetan pertanyaan saat melihatku sudah di rumah. Aku mulai terbiasa dengan kehadirannya, sosok manis yang asal-usulnya masih menjadi misteri.

Kami banyak bertukar cerita, melewati menit menjadi jam tanpa terasa. Berpacu dengan waktu untuk menyingkap tabir masa lalu. Juga semakin banyak teka-teki yang perlahan muncul. Satu kenyataan pahit yang terlontar dari bibir Lola, berhasil menggetarkan sisi kemanusiaanku. Kekasih yang dibunuh Mahes, dalam keadaan hamil. Mahes tak hanya membunuh wanitanya, juga calon buah cinta yang bahkan belum sempat ia akui.

Juga, ujung pulau yang dimaksud Lola ….

Selepas mandi, pikiran sedikit fresh. Aku hanya percaya, semua yang terjadi memang sudah ada takdirnya. Beberapa pertanyaan masih mengganjal di kepala. Salah satunya, siapa orang yang diam-diam masuk ke rumah ini dan mengambil foto yang Lola temukan? Bagaimana si pelaku tahu tentang foto itu? Sedangkan, data di kepolisian tak ada bukti foto serupa.

“Ares ….”

Aku menaikkan sebelah alis saat tiba-tiba Lola memanggil dengan nada menggoda. Hantu gila itu pasti sedang merencanakan sesuatu. Benar saja, dua detik setelahnya, Lola tiba-tiba menghambur memeluk hingga aku terpaksa mundur dua langkah. 

“La?” Aku urung bertanya saat kurasakan bibir ranum itu sudah menempel di bibirku. Lembut, dingin, dan ….

Sial!

Entah apa maksud Lola, kali ini aku tak bisa berpikir jernih. Dia tak kasatmata, tetapi juga terasa nyata. Logika memaksaku untuk mengakhiri ini. Namun, tubuh merespons dengan tak tahu diri. Tangan kananku yang semula terulur di pinggangnya, kini berpindah di tengkuk. Beberapa detik kepalaku seperti mau pecah, mencicip manisnya surga. Hingga akhirnya, suara klakson mobil yang melintas di jalan depan rumah, membawa kembali kewarasan. Kupeluk Lola yang masih terpejam, menghidu  sosok cantik itu dengan perasaan serba salah. Aku tahu, kami hanya terbawa suasana. Tidak lebih .

Sampai sekarang, aku tak tahu kenapa kami bisa saling bersentuhan. Itu sangat ….

“Aduh!”

Aku mundur hingga membentur dinding, saat Lola tiba-tiba memberontak dan mendorongku layaknya korban pelecehan. Haasssh, siapa tadi yang mulai duluan? Umpatan lima bahasa baru akan terlontar, tetapi hantu menyebalkan itu lebih dulu terbang menjauh. Hingga sosoknya lenyap menembus jendela kaca.

“Apa-apaan itu tadi?”

Bersambung .....

SASSY GHOST (END) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora