"Kalau pun kamu nolak kita masih bisa berteman."

"Apa kamu tidak merasa malu untuk bertemu dengan aku setelah kamu bertingkah seperti ini?"

Rahang Ghalib mengeras sebagaimana keras kepalnya Nuha yang masih mengharapkan Ghalib akan berubah keputusannya dengan memberikan jawaban 'iya' bukan 'tidak'. Ghalib merasa muak dengan sikap kekanakan Nuha yang seolah memaksa dirinya.

"Aku cinta sama kamu, Ghalib," lirih Nuha.

"Jangan kekanak-kanakan! Kita bukan ABG labil yang setiap keinginan harus dipenuhi. Aku gak bisa dipaksa, Nuha. Aku adalah pria yang ingin bebas. Menikahlah dengan pria lain yang tulus mencintai kamu!"

Ghalib pergi meninggalkan Nuha yang mematung di taman belakang rumah. Nuha berusaha mencerna dan menerima setiap ucapan Ghalib. Benar apa yang dikatakan oleh orang tuanya bahwa ditolak adalah resikonya.

Sedangkan di ruang tamu Ghalib menghadap kepada Santoso dan Fatimah.

"Jadi maksud kedatangan Pak Santoso dan keluarga adalah untuk mengantar Nuha. Maaf, Pak, saya belum siap membangun sebuah rumah tangga sehingga saya menolak Nuha. Semoga ada pria yang lebih baik dari saya yang akan datang melamar Nuha. Saya permisi."

Ghalib langsung melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Ghalib sangat terkejut dengan sebuah kejutan dari Nuha. Keduanya jarang bertemu setelah kuliah bahkan hingga lulus dan sekalinya bertemu kembali Nuha memberikan kejutan dengan sebuah ungkapan cinta.

"Maaf, Santoso dan Bu Fatimah bahwa anak saya menolak. Saya dan istri tidak bisa memaksa kehendaknya Ghalib." Burhan melirik istrinya, sedangkan yang dilirik hanya mengendikkan bahu.

"Tidak apa-apa, Burhan. Intinya mereka tidak berjodoh lagi pula kalau jodoh lari jauh ke ujung dunia pun akan tetap berjodoh. Yang dekat satu kompleks saja kalau bukan jodoh ya tidak akan berjodoh." Santoso berusaha mencairkan suasana dengan sedikit menambahkan lelucon garingnya.

Nuha datang dengan mata yang sedikit sembab dan hidung merah. Kedua orang tua Ghalib saling siku karena merasa tidak enak atas penolakan putranya.

Lilis menghampiri Nuha dan mengelus-elus pundaknya. "Nuha, maafkan Ghalib ya. Maaf sudah membuat kamu kecewa. Saya selaku ibunya tidak bisa memaksa. Mungkin Ghalib bukan yang terbaik untuk kamu. Saya berharap kamu mendapatkan yang terbaik, lebih baik dari anak saya."

Nuha menganggukan kepalanya dengan sedikit memberikan senyum terpaksanya.

"Burhan, saya dan keluarga baiknya pamit karena malam juga sudah semakin larut."

"Baiklah, hati-hati dan sekali lagi saya minta maaf."

Ibunya Ghalib memeluk Nuha seolah memberikan kekuatan untuk Nuha. "Jangan menangis dan tetap semangat. Jangan putuskan pertemanan kalian dan sering-sering main ke sini."

Santoso beserta istri dan anaknya pamit pulang dengan membawa kekecewaan dan juga rasa malu. Tapi apa boleh dikata bahwa hati tidak bisa dipaksa.

**

"Kenapa ditolak?" Wanita paruh baya berbadan kurus itu berjalan menghampiri putranya yang sedang duduk di ujung ranjang.

"Aku belum siap menikah, Ma. Aku ingin fokus di karir terlebih dulu."

Lilis duduk di sebelah putranya. "Kamu tahu gak kalau menikah itu mendatangkan rezeki? Bahkan banyak orang yang sukses setelah menikah. Menikah adalah gabungan rezeki antara suami dan istri serta anak-anak dalam sebuah keluarga."

"Aku tahu, Ma, hanya saja Ghalib tidak bisa menikah dengan Nuha."

"Apakah ada perempuan yang kamu suka selama ini?"

Ghalib menganggukan kepalanya dengan rona wajah yang sedikit memerah. Selama ini Ghalib tertutup mengenai persoalan asmara. Baginya membahas soal asmara setelah dirinya siap menikah.

"Siapa nih yang sudah berhasil menundukan hati anak Mama ini," goda ibunya dengan menatap putranya yang kini sudah dewasa. Ghalib tidak bisa disalahkan dalam penolakannya kepada Nuha hingga tidak perlu ibunya marah.

"Satu kampus, Ma. Dia anak jurusan Hubungan Internasional."

"Jadi itu menjadi alasan kamu nolak Nuha?"

"Ya salah satunya itu, Ma. Tapi lebih tepatnya memang Ghalib belum siap dan juga Ghalib memang hanya menganggap Nuha sebatas teman gak lebih. Dari kecil hingga saat ini kami berteman tidak ada sedikit pun perasaan dalam hati Ghalib untuk Nuha."

"Nuha sepertinya kecewa banget Mama lihat."

"Itu resiko, Ma. Ghalib gak nyangka kalau selama ini Nuha suka sama Ghalib. Nuha sudah mensalah artikan perhatian Ghalib selama ini ke Nuha."

"Ya sudah tidak apa-apa, hanya saja jangan sampai kalian putus pertemanan hanya karena masalah ini."

Lilis menepuk pundak putra laki-laki semata wayangnya itu dan pergi berlalu dari kamar Ghalib.

Kakak Ghalib yang seorang perempuan sudah menikah lebih tepatnya dua tahun yang lalu. Kakaknya sudah tidak tinggal dengan Ghalib karena harus ikut dengan suaminya yang tinggal di Karawang.

Ghalib yang memang seorang laki-laki tidak terlalu memikirkan mengenai masalah dirinya dengan Nuha. Setelah kejadian tersebut dapat dipastikan bahwa akan ada jarak yang membentang yang menjadi pemisah bagi keduanya.

Berbanding terbalik dengan Nuha. Setelah kejadian malam itu, Nuha lebih banyak menghabiskan hari-harinya di dalam kamar. Setiap harinya Nuha hanya merenung memikirkan kebodohannya. Andai waktu bisa diulang mungkin Nuha tidak akan mengungkapkan perasaannya itu dan mengajak Ghalib menikah. Efeknya benar-benar terjadi, pertemanan mereka hancur.

Nuha tidak ingin semuanya berakhir begitu saja, setidaknya dirinya ingin rindu pada Ghalib terobati dengan masih berkomunikasi sekalipun hanya sapaan salam melalui pesan aplikasi whatsapp. Seperti halnya hari ini Nuha mengirim pesan kepada pria yang jelas-jelas sudah menolaknya.

[Assalamu'alaikum. Aku meminta maaf atas kelancangan pada malam itu, aku harap kamu gak marah.]

Nuha berharap pesan itu dibaca dan dibalas, dirinya ingin kembali seperti dulu tidak ada jarak pemisah yang menghalangi keduanya untuk berkomunikasi.

Bersambung 

Penantian CintaWhere stories live. Discover now