"Persediaan pembalut? Nggak sekarang, kan?" Dia mengangkat tangan yang dipakainya menyentuh kemaluanku tadi. "Masih bersih," katanya sambil memasukkan jari tengahnya itu ke mulut.

"Kamu sinting!"

"Mbak sudah berkali-kali bilang aku sinting." Dia tertawa dan mencengkeram pantatku. Cercaan itu sama sekali tidak berarti baginya. "Asal Mbak tahu, aku ini memang sinting. Saat menyentuh Mbak, aku merasa kita berdua memang sama-sama sinting. Kayaknya, ide bagus kalau kita satukan kesintingan kita, biar Mbak tahu gimana nikmatnya nggak waras itu."

Aku menatapnya terus, mencoba menyelami pikirannya. Bibir merahnya yang terbuka memang benar-benar menjanjikan kenikmatan. Hidungnya yang berbentuk sempurna dan mulus tanpa komedo itu memberikan ketampanan yang luar biasa untuknya. Dia sosok lelaki muda yang bebas, lelaki yang tidak memikirkan masa depan. Dia merasa bisa melakukan apa saja karena belum memahami konsekuensi dari yang dilakukannya. Mungkin aku juga seperti itu dulu saat memutuskan menikah dengan Mas Roni, muda, naif, dan berpikiran pendek sekali. Jelas Andro tidak akan siap dengan komitmen. Dia tidak akan siap dengan konsekuensi atas hubungan kami.

Orangtuaku pasti tidak akan setuju sekalipun aku sudah bercerai dengan Mas Roni. Usianya terpaut jauh sekali dariku. Dia juga nggak terlihat seperti cowok matang yang siap berumah tangga dan memiliki seorang anak. Dia masih sering keluyuran dan melakukan banyak hal sendiri. Pasti nanti dia terkejut kalau harus dibebani tanggung jawab kepemimpinan rumah tangga. Untuk yang seperti Mas Roni saja akhirnya serong dengan orang lain, apalagi Andro. banyak cewek yang suka sama dia. Bukan tidak mungkin suatu hari nanti dia tertarik pada salah satu cewek itu. Aku sudah tua. Sebentar lagi aku bakal keriput dan mungkin menopause. Dia pasti bakal nyari cewek lain yang lebih segar, lebih cantik daripada aku. 

Rasanya, aku tidak akan sanggup hidup seperti itu. Aku tidak akan bisa menerima perpisahan lagi.

"Andro, kamu pulang aja." Kuulurkan tangan untuk menarik daftar belanjaan dari tangannya. 

Dia menarik tangannya menghindariku. Dia berhenti mendorong troli dan melihatku. "Kenapa?"

"Aku juga mau pulang," kataku pelan, sama sekali tidak merasa nyaman. Rasanya ada yang menarik kebahagiaan dari dalam hatiku. "Aku capek," kataku lagi.

"Mbak duduk aja. Biar aku yang ambil belanjaannya." Suaranya terdengar khawatir.

Aku menggeleng. "Aku capek sama hidupku. Tolong jangan kejutkan aku kayak gini. Aku ...."

Aku melihat ke arah lain, menyembunyikan mata yang sudah berkaca-kaca. Aku jadi sangat ingin menangis. 

Dia memelukku lagi. Rasanya sehangat yang kuingat. Aku menyukainya. Aku ingin dipeluk seperti ini selamanya.

"Aku di sini, Mbak. Aku bakal dengerin apa pun yang Mbak katakan. Aku bakal jadi orang yang mencintai Mbak dan Patih. Apa pun yang Mbak mau." Dia mendekapku, memegang kepalaku dengan cara yang sangat kusuka. Jari-jarinya di sekeliling kepalaku, menyusup di antara rambutku, menekan kulit kepalaku dengan lembut. "Apa pun yang Mbak mau pokoknya. Jadi apa aja aku mau. Mbak mau cuma jadikan aku teman ngobrol juga aku mau aja. Aku nggak suka lihat Mbak kayak gini."

Kutarik tangannya agar lepas dari tubuhku. "Kalau gitu, tinggalin aku sendirian, Andro. Aku nggak mau menambah beban hidupku lagi."

"Karena status kita?" Tatapannya berubah serius, tidak ada kilatan nakal lagi dari mata cokelat gelap itu. 

"Iya. Juga karena Patih. Aku sudah berkali-kali bilang gini ke kamu. Masa kamu nggak paham-paham juga?"

"Aku nggak mau paham, Mbak. Ini nggak masuk akal. Mbak sudah berkorban banyak dalam rumah tangga Mbak. Sekarang, Mbak harus mengorbankan kebahagiaan Mbak demi Patih. Apa itu adil? Kenapa kita nggak bisa membahagiakan Patih sama-sama?"

Good NeighborWhere stories live. Discover now