Arkan menggeleng, satu tangan lainnya terjulur mengelus rambut Maura lembut. "Itu gak akan terjadi, aku janji"

"Jangan nangis, Sayang" ujar Arkan lagi melihat mata Maura nampak berkaca-kaca.

Maura lantas mengambil tisu untuk menyeka air matanya. Arkan tersenyum menatap Maura, faktor kehamilan yang membuat istri tercintanya itu mudah sekali marah atau menangis karena hal kecil.

Pandangannya lalu turun ke arah perut Maura yang bertambah besar. Kehamilan Maura sudah memasuki usia tujuh bulan, tersisa beberapa bulan lagi untuk melihat anak mereka lahir ke dunia. Arkan tidak sabar bertemu untuk menggendong, mencium dan bermain bersama jagoannya.

Arkan akan memastikan anak mereka akan tumbuh di penuhi kasih sayang tanpa kekurangan sedikit pun.

"Akh!"

Arkan terkejut mendengar rintihan Maura. Bola matanya membesar karena terkejut sekaligus khawatir dengan Maura. "Kenapa? Perut kamu sakit?"

"Dedeknya nendang, mungkin tau ada ayahnya"

Arkan mendesah lega, ia lalu membungkuk untuk mengecupnya dengan tangannya yang masih mengelus perut Maura.

"Ayah di sini, Nak" ucapnya pelan. Arkan lalu mendongak menatap wajah Maura saat terasa tendangan itu datang lagi, Maura meringis lagi. "Sakit?"

"Sedikit"

Arkan terus mengusap perut Maura lembut. "Jangan nakal, Sayang, kasian bunda"

Maura tersenyum melihat pemandangan di hadapannya, bagaimana manisnya interaksi Arkan pada calon anak mereka. Maura teringat pada saat dirinya terbangun di malam hari dan membangunkan Arkan untuk mengusap perutnya beberapa waktu lalu, itu adalah pertama kalinya Maura merasakan tendangan dari calon anak mereka.

Tendangan itu hanya Maura dapatkan ketika Arkan mengusap perutnya, seolah tahu jika itu adalah ayahnya.

"Besok jadwal check up kamu kan?"

Maura mengangguk, Arkan sudah menegakkan badannya kembali. Meskipun di sibukkan oleh kerjaan kantor dan kuliah, Arkan selalu berusaha menyempatkan diri untuk menemaninya check up. Meskipun Maura sudah menolak keras dan meyakinkan Arkan jika ia bisa pergi sendiri, Arkan tidak pernah mau mendengarkannya.

"Abis ini aku ikut kamu ke kantor ya? Bosen di rumah" ujar Maura saat seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka. Pandangannya lalu beralih menatap pelayan wanita yang diam-diam melirik ke arah Arkan.

Melihat bagaimana dia memandangi wajah Arkan penuh kekaguman, rasanya Maura ingin melempar semua benda yang ada disini ke wajahnya. Berani sekali menatap wajah suaminya di hadapannya seperti ini.

Maura memutar matanya jengah. "Bitch!" ucapnya yang membuat Arkan dan pelayan wanita itu terkejut.

"Sayang" Arkan memperingatkan.

"I don't like my husband being stared at like that!" tekan Maura bermaksud menyinggung pelayan wanita tersebut. Tersindir, pelayan wanita itu pun membungkuk dan pergi dari sana.

"Lagi hamil jangan ngomong kasar, gak baik"

"Salah dia sendiri natap suami aku kayak gitu, gak tau diri banget" jawab Maura cuek lalu mulai memakan makanannya.

Arkan hanya menggeleng menatap Maura, istrinya semakin hari semakin agresif jika sudah menyangkut tentangnya. Seperti kejadian saat Maura menjambak rambut Liana geram karena kedapatan terus mendekatinya.

Kejadian hari itu membuat seisi kantor geger hingga Liana menjadi bahan gosip oleh seluruh karyawannya.

Sejujurnya Arkan juga sudah merasa gerah dengan tingkah Liana dan ingin sekali mendepaknya keluar, tapi Arkan tahu jika tindakan itu tidak akan membuat Liana pergi. Bisa saja Liana kembali lagi dan mengusik rumah tangannya dengan Maura lebih parah lagi.

Jadi sebisa mungkin Arkan bersabar untuk rencananya.

☃☃☃

Arkan menutup laptopnya lalu menatap arloji di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Arkan bangkit dari kursinya dan berjalan memasuki ruangan, terlihat Maura masih tertidur lelap dengan posisi tidur menyamping membelakanginya.

Arkan melangkah menghampiri Maura, membuka selimut yang menutupi sebagian tubuhnya secara perlahan agar tidak membangunkannya. Arkan lalu mengangkat tubuh Maura dan melangkah keluar ruangan, berjalan ke arah lift dan menekan tombol lantai basemant tempat mobilnya terparkir.

Arkan membuka pintu mobil, meletakkan tubuh Maura di samping kemudi dan menutup pintunya kembali lalu berjalan memutar dan masuk ke mobil. Mobil sport putih itu pun melaju meninggalkan area kantor.

Setelah menempuh dua puluh menit perjalanan, mobil Arkan berhenti di halaman rumah. Arkan turun dari mobil membuka pintu kemudi dan menggendong Maura lalu melangkah memasuki rumah.

"Loh? Maura kenapa, Ar?"

Suara lembut Laura terdengar ketika Arkan memasuki rumahnya. Terlihat Laura bangkit dari sofa dengan ekspresi terkejutnya melihat Maura dalam gendongan Arkan.

"Gapapa, Ma, Maura cuma tidur. Arkan bawa Maura ke kamar dulu ya?" pamit Arkan sopan lalu melangkah menaiki anak tangga menuju kamar setelah mendapat anggukan dari Laura.

Arkan membaringkan tubuh Maura di atas ranjang, membuka flatshoes yang dikenakannya lalu menyelimutinya sampai batas bahu. Arkan duduk di tepi ranjang, merapihkan helaian rambut Maura yang menutupi sebagian wajah cantiknya.

"Rara nyusahin kamu terus ya?"

Suara lembut itu terdengar, Arkan lantas menoleh menatap Laura yang kini tengah berdiri bersandar di ambang pintu. Rupanya Laura menyusulnya dan memperhatikan.

"Nggak kok, Ma. Mama kapan sampe? Kok gak ngabarin Arkan?" tanya Arkan seraya bangkit dan mencium tangan Laura.

"Kamu kan lagi sibuk, makanya Mama gak ngabarin kamu"

"Mama ke sini sama siapa?"

"Sama papa dan Angel, sesuai permintaan kamu. Tapi tadi papa pergi karena ada urusan, kalo Angel baru aja tidur. Dari tadi dia ngerengek mulu tuh nyariin kalian"

"Harusnya Mama kabarin biar Arkan jemput kalian di bandara" kata Arkan. Meskipun sebelumnya mereka sudah membahas soal rencana Laura yang akan membawa Angel untuk Maura, tapi Arkan tidak tahu jika mertuanya akan datang secepat ini. Laura tidak memberitahu soal rencana keberangkatannya karena pembahasan ini tertunda sementara karena kesibukan Arkan.

Padahal Arkan sudah berniat membelikan tiket pesawat dan menjemput mereka di bandara jika ia sudah menyelesaikan masalah di kantor.

"Gak perlu, Nak, kami ngerti kalo kamu banyak kerjaan" jawab Laura seraya memasuki kamar. Di lihatnya wajah putrinya yang tengah terlelap damai itu, lalu beralih menatap wajah Arkan yang nampak kelelahan. Dari bagaimana cara Arkan memperlakukan Maura, sepertinya, putrinya itu menambah pekerjaan Arkan.

"Tidur dari kapan Rara, Ar?"

"Sore, Ma, mungkin Maura kecapekan"

"Emangnya Rara ngapain aja di kantor sampe kecapekan begitu? Dasar si Raranya aja yang kebo!"

Arkan tersenyum. "Mungkin karena lagi hamil Maura jadi gampang capek"

Laura melipat kedua tangannya di dada seraya menghela napasnya. "Kamu tuh lain kali kalo mau pulang bangunin aja Raranya, kamu 'kan juga capek abis kerja"

"Arkan gak tega bangunin Maura, Ma"

Laura mendesah pelan. "Kamu tuh terlalu manjain Rara, Mama aja gak sampe segitunya manjain dia"

"Gapapa, Ma. Lagian Arkan seneng manjain Maura"

Di tatapnya wajah cantik Maura yang tertidur pulas, hatinya menghangat melihat wajah istrinya. Meskipun Arkan di hadapkan oleh tumpukan kerjaan di kantor tadi, tapi melihat wajah wanitanya saat ini, rasa lelah yang menderanya langsung terbayarkan. Seolah lenyap begitu saja karena telah menemukan penawarnya.

Laura menghela napas. "Kalo kamu udah bilang gitu Mama gak bisa berbuat apa-apa lagi"

"Yaudah, kamu mandi gih, abis itu turun. Mama udah masak sup sama rendang buat kamu loh"

"Makasih, Ma"

"Sama-sama, Mama keluar dulu ya?"

Arkan mengangguk, Laura pun melangkah keluar dan menutup pintu kamar.

💍💍💍

AFTER MARRIED || (T A M A T)Where stories live. Discover now