Part 47 - Sandi dan Akhirnya

Start from the beginning
                                    

Sandi lalu mengangkat kedua tangan dan bahunya seolah menandakan tidak tahu sambil tersenyum. "Gak tahu juga gue. Lagi gak berusaha mikirin lo sih. Biar lo tenang sama Bapak Ganteng." tawa Sandi akhirnya.

Anna mendengarnya hanya meringis kecil. "Tapi San kalau boleh tahu," Sandi menghentikan aktivitasnya yang sedang menakar dan memasukan sabun cuci pakaian ke dalam mesin cuci. "Sejak kapan lo ada rasa sama gue?" tanya Anna penasaran.

"Kelas 10." jawab Sandi singkat.

Mata Anna membelalak mendengar jawaban dari Sandi. "Ah bohong lo!"

"Yeee jujur gue." ucap Sandi agak kesal merasa dirinya tidak dipercaya oleh Anna. Lagi-lagi Anna meringis.

"Kok bisa?"

Sandi melirik Anna tajam. "Lo serius mau tahu?"

Anna mengangguk tanpa ragu. Lalu kemudian dia menggeleng pelan. Lalu dia mengangguk lagi. Kemudian dia menggeleng lagi.

"Jadi lo mau tahu apa enggak nih? Gak jelas banget hidup lo." kekeh Sandi akhirnya. Anna merona malu.

"Gak usah deh."

Anna mengambil lagi bukunya yang sedari tadi dia anggurkan. Dia berusaha melanjutkan membaca halaman terakhir kali yang ia tinggalkan. Tapi tidak bisa dengan adanya Sandi di ruangan yang sama dengannya.

"Lo baca apa?" Sandi lalu membaca sampul buku yang dipegang Anna. "Oh lo suka Sam Barnes?"

Anna mengangguk. Sandi kembali terdiam. Ia juga ikut merasakan kecanggungan yang dirasakan Anna sedari tadi. Anna diam-diam menatap Sandi yang kali ini sedang memainkan HPnya.

Sandi memiliki nama lengkap Irfan Sandi Kusumawijaya merupakan teman Anna semenjak dari bangku SMP. Sebenarnya, dia awalnya memperkenalkan dirinya sebagai Irfan. Namun, karena teman sekelas Anna ada yang bernama Irfan akhirnya dia dipanggil Sandi agar tidak bingung. Sandi dan Anna dipertemukan kembali di bangku SMA. Keduanya hanya sebatas teman sekelas dan mereka jarang berinteraksi. Sekalinya berinteraksi paling hanya sebatas jadwal piket kelas karena mereka memiliki jadwal yang sama semenjak kelas 10.

"San."

"Na."

Mereka memanggil nama lawan bicaranya secara bersamaan. Anna jadi tertawa dibuatnya.

"Nah gitu dong ketawa lagi kaya dulu." Sandi tersenyum.

"Kaya dulu gimana?"

Sandi memasukan HPnya kedalam kantung celananya. "Ya dulu. Sebelum gue ngaku ke lo kan kayaknya lo bebas banget ketawa sama gue. Semenjak gue ngaku lo jadi kaya ngehindar terus. Padahal gue lagi mencoba untuk biasa aja loh Na."

Anna mendesah. "Maaf ya San? Gue orangnya gak enakan."

"Gue jadi nyesel ngaku deh." kata Sandi.

"Yaaah jangan gitu. Gue jadi makin gak enakan kan San. Biasa aja."

"Nah itu. Lo juga harus bersikap biasa aja sama gue." Sandi menunjuk-tunjuk Anna hingga Anna terkekeh kecil.

"Iyaaa gue coba deh. Gue ngerasa gak enakan aja gitu."

Sandi mengulurkan tangannya yang membuat Anna bingung dan termenung. Karena tidak sabar menunggu, akhirnya Sandi meraih tangan Anna dan menempelkannya pada tangannya seperti orang yang sedang bersalaman.

"Damai, ya?"

Anna lalu tersadar dan tersenyum geli mendengar perkataan Sandi. "Damai deh."

Sandi mengacungkan jempol dan kembali memainkan HPnya sementara Anna kembali berkutat pada bukunya. Kali ini akhirnya dia bisa membaca dengan lega.

Setelah dari laundry room, Anna pamit duluan kepada Sandi kemudian menuju kamarnya. Kamar Pak Harry tampak sedikit terbuka. Akhirnya Anna menaruh keranjang baju miliknya di atas rak sepatu dekat pintu masuk kamar Anna.

Dilihatnya Pak Harry yang sedang memakai kaus oblong sedang tiduran santai di sofa sembari membaca majalah otomotif. Anna sengaja tidak mengetuk pintu kamar dan berjalan mengendap-endap lalu menutup kedua mata Pak Harry.

Pak Harry tersenyum mengetahui siapa yang menutup kedua matanya. "I can smell you." ucapnya lalu melepaskan tangan Anna dan menuntunnya untuk duduk di sofa.

"Bapak bangun dulu! Masa saya dudukin Bapak?"

Pak Harry terkekeh lalu duduk dan menaruh majalahnya di samping sofa.

"Udah siap-siap daftar ulang? Semua berkas udah disiapin belum?"

Beberapa hari yang lalu adalah pengumuman SNMPTN. Anna dan Desi diterima di UI. Anna diterima pada program studi Ilmu Komunikasi sementara Desi diterima di Kedokteran Umum. Sementara Dipo juga diterima di UI melalui jalur PPKB dengan program studi Teknik namun dirinya disuruh oleh orang tuanya untuk tetap mendaftar BIFA atau STPI Curug.

Anna tidak hentinya mengucapkan rasa syukur saat membuka halaman SNMPTN yang berwarna hijau. Begitu pula dengan Desi.

"Besok saya mau ke sana sama Dedi, Pak."

Pak Harry menatap heran. "Dedi? Dedi siapa?"

Anna sudah tahu bahwa Pak Harry akan bertanya seperti itu. "DEsi DIpo Pak. Hehehe..."

Pak Harry langsung mencubit pipi Anna pelan. "Kamu lucu, calon tunangan saya."

Pipi Anna langsung memerah.

Pada akhirnya, Anna menerima keadaan bahwa pacarnya ini memang sudah tua dan sudah serius. Anna tidak boleh egois, dan Anna merasa Pak Harry tidak egois karena dia tidak pernah sekali pun memaksa Anna. Anna menerima bahwa Pak Harry ingin melamarnya, tentu dengan berbagai syarat. Saat mendengarnya, Pak Harry tentu senang bukan kepalang. Tak henti-hentinya dia mencium Anna hingga Anna benar kehabisan napas.

"Nanti malam jadi kan?" tanya Anna. Nanti malam, kedua orang tua Pak Harry akan berkunjung ke Jakarta dengan tujuan ingin mengenal lebih dekat dengan Anna.

"Kamu memangnya mau gak jadi?"

Anna memehang dadanya. "Saya deg-degan. Nanti harus gimana ya? Pakai baju apa ya? Saya manggilnya apa? Aduhhh bingung. Nanti kalau mereka gak suka saya gimana? Gimana Pak??????" Anna menatap Pak Harry yang sedang terkekeh geli dengan perilaku Anna yang menurutnya lucu.

"Just be you. Saya yakin mereka akan menyukai kamu dan amazed sama kamu seperti dulu ketika saya pertama kali amazed dengan kamu." Pak Harry mentoel hidung Anna.

"Tapi..."

Pak Harry langsung membungkam Anna dengan menaruh bibirnya pada bibir Anna.

***



Anna & HarryWhere stories live. Discover now