12. Lagu Kita

627 119 53
                                    

Seperti yang lalu-lalu, malam di kota Jakarta sangat dingin. Langit gelap di atas sana, namun jadi indah dikarenakan banyak bertabur bintang.

Perlahan angin bertiup, menerpa rambut hitam kelam milik si pemuda yang berdiri diujung balkon kamar dengan kedua tangan memegang besi pembatas. Rambutnya tersisir, berantakan karena angin. Ia memejamkan mata, menikmati suasana malam hari yang tidak pernah membosankan.

Pemuda jangkung berkaos putih polos ini membuka lagi matanya, tersenyum teduh melihat jalanan ramai lalu-lalang.

Walau permukaan kulit sudah dingin seperti es, walau rambutnya diterpa angin pelan dan walaupun kaos tipis yang ia kenakan tak dapat memberi kehangatan tubuh, Nares sama sekali tidak berniat pergi dari balkon kamar.

Baginya, suasana malam sangat menenangkan. Apalagi ditambah secangkir kopi panas.

Tapi tidak, Yulia sudah melarang anaknya untuk meminum kopi selama sebulan. Terakhir kali Nares membeli sekotak kopi dan dia habiskan selama 3 hari. Bayangkan betapa emosinya Yulia saat mengetahui hal itu. Yulia cuman tidak ingin Nares jadi kecanduan.

Apalagi saat dia mencicipi kopi buatan Nares, rasanya sangat jauh dari kata manis.

Tapi anehnya, Nares dapat minum dengan tenang, bahkan tidak mengeluh kepahitan barang sekalipun.

Yulia beberapa hari lalu sengaja membelikan Nares sekotak susu vanilla. Jangankan diminum, disentuhpun tidak olehnya.

Yulia heran, padahal sewaktu Nares kecil dia beri susu bukan kopi.

Baiklah, mari lupakan pembahasan tentang kopi. Karena pada kenyataan, Nares masih bisa membeli secangkir americano di Starbucks.

Si pemuda melamun, jiwanya seperti ditarik halus menuju dunia Imaji. Mendadak bayangan tentang bagaimana nyamannya pelukan yang diberi Lia terlukis jelas, bayangan tentang bagaimana damainya usapan demi usapan gadis itu terlukis juga.

Semua berputar di memori ingatan.

Senyum Lia yang begitu candu tak lepas dari semua itu. Setiap Lia tersenyum, matanya pun pasti ikut tersenyum juga. Membuktikan bahwa ia benar-benar tulus.

Tiba-tiba Nares jadi merindukan Alisha Berliana.

Keadaan tampak mendukung Nares untuk merenungkan kembali siapa yang dia prioritaskan. Sendiri, sunyi, tenang dan diselimuti kenangan.

Nares mendesah berat, mengapa memilih antara Rachel dan Lia seberat ini?

Jikalau boleh berucap jujur, sebenarnya sebagian besar tujuan Nares meminta permaafan dari Lia adalah karena tugas praktek mereka esok hari. Coba pikir, seberapa canggungnya mereka berdua kalau saja Nares tak maju untuk meruntuhkan egonya lebih dulu?

Sangat tidak lucu jika suara Lia yang awalnya merdu jadi terdengar ogah-ogahan.

Iya, untuk tugas praktek.

Namun tujuan utamanya terlupa karena sikap Lia yang terbilang cukup unik. Terlanjur nyaman, Nares jadi banyak bercerita.

Nares memejamkan matanya lagi, bukan karena angin yang menerpa, tapi karena dia ingin melihat lebih jelas kepingan memori yang pernah dia alami bersama Rachel.

Kalau dibandingkan dengan Lia, semua terasa hambar dan menyakitkan.

Untuk saat ini cuman Lia yang bisa membuatnya merasa nyaman. Bahkan hanya dengan menghirup aroma khas Lia saja sudah membuat Nares merasa nyaman.

Terlepas dari semua bayang-bayangnya Lia, terlepas dari semua rasa nyaman yang tercipta, Nares ingin meyakini sang hati bahwa Rachel-lah yang seharusnya dia cinta.

Move OnWhere stories live. Discover now