Akaashi Keiji

2K 246 27
                                    

       Cuaca hari ini benar-benar berbeda dari perkiraan cuaca tadi malam. Semalam aku tidur dengan tenang karena tahu kalau hari ini langit akan cerah, tapi sekarang langit begitu gelap. Aku sampai harus menutup jendela kelas agar angin tidak berhembus ke dalam kelas dan membuatku menggigil.

       Aku duduk di kursiku setelah menutup semua jendela. Aku ingin sekali pulang sebelum langit mendung itu menumpahkan semua isinya. Sayangnya, kami dilarang melewatkan bimbingan wali kelas. Jadi, walaupun wali kelas kami jarang memberikan bimbingan yang berguna, selain informasi masuk perguruan tinggi, kami tidak pernah melewatkan waktu bimbingan. Sudah peraturan, dan itu menyebalkan.

        Sekarang saja, sudah lewat 10 menit dari seharusnya bimbingan dimulai, namun wali kelas kami, Tono-sensei masih belum datang. Aku merebahkan kepalaku di atas kedua tanganku di meja dan melihat ke bangku Akaashi yang duduk disampingku.

        “Mengantuk?” tanya Akaashi.

        Aku menggelengkan kepalaku pelan. Bagaimana aku bisa mengantuk, disaat aku mengkhawatirkan nasibku yang harus pulang di tengah hujan.

        “Kau sendiri?” tanyaku.

        “Tidak juga.”

        Setelah itu, yang kami lakukan hanyalah saling memandang. Sejak pertama kali kami duduk bersebelahan, aku tidak pernah bisa menebak apa yang sedang dipikirkan Akaashi, ketika dia sedang diam seperti sekarang. Tapi yah, memangnya apa yang akan dia pikirkan ketika melihatku dengan poker face-nya itu. Sedngkan aku  sibuk memikirkan Akaashi, seperti sekarang.

       Akaashi adalah pusat kelas ini. Aku saja terkejut ketika dia mendapat nilai matematika tertinggi di kelas. Berbeda sekali denganku yang hanya memiliki nilai rata-rata.

       Pintar, tinggi, atletis, mengingat dia adalah setter klub bola voli putra sekolah, dan yang lebih penting adalah walaupun dia selalu memasang poker face-nya, dia adalah pria yang tampan. Sangat tampan, sampai aku tidak bisa lagi mengungkapkan ketampanannya dengan kata-kata.

       Aku tersenyum sendiri, merasa geli dengan pikiranku. Seharusnya aku tidak boleh terlalu sering mengagumi Akaashi, karena aku sudah bertekad untuk berumur panjang. Kalau aku begini terus, kesehatan jantungku akan terganggu.

       Aku bangun lalu merenggangkan tanganku dan terkejut ketika kelas sudah kosong. Yang tersisa di ruangan hanyalah aku dan Akaashi. Mustahil, aku melamunkan Akaashi sampai tidak sadar kalau kelas sudah berakhir.

       “Mau pulang tidak?”

       Aku menoleh ke arah Akaashi. Masih dengan wajah terkejutku, aku mengangguk dan mengikutinya ke luar kelas.

       “Ne, Akaashi. Apa kau sadar kalau kelas sudah berakhir? Aku merasa kalau aku tadi melamun sebentar, tapi ketika aku meregangkan tang—“

       Aku berhenti bicara ketika suara petir terdengar dan hujan mulai turun. Hari ini aku memang tidak beruntung, ralat, kalau dikurangi dengan waktu yang kudapatkan untuk mengagumi Akaashi, aku masih bisa dibilang sedikit beruntung.

       Argh, sekarang yang menjadi masalah bukan beruntung atau tidak beruntung. Masalahnya adalah aku tidak bawa payung. Bahkan jika membawanya pun aku akan demam begitu sampai di rumah. Kalau saat aku membawa payung saja aku bisa sakit, bagaimana jika aku tidak bawa payung dan nekat untuk pulang.

       Apa aku menginap saja di sekolah ya? Ide bagus. Aku jadi tidak perlu takut terlambat berangkat sekolah. Tapi tunggu, bukankah hari ini hari Jum’at. Kalau begitu besok sekolah libur, kalau aku menginap di sekolah, aku tidak bisa melihat drama favoritku yang hanya tayang di akhir pekan.

Haikyuu RomanceWhere stories live. Discover now