Bab 3

6.5K 360 2
                                    

Danila menatap penuh sayang pada putra semata wayangnya. Matanya bengkak karena terlalu banyak menangis, masih juga sesekali terisak, tapi Dewa lebih tenang sekarang.

"Kamu kenapa, Sayang?"

Danila tidak mengerti, kenapa laki-laki kecil itu begitu marah. Dia sudah memaafkannya karena melanggar janji untuk tidak membuka amplop sebelum hari ulang tahun yang ketujuh, dan juga, ia telah meminta maaf karena bersikap kasar saat pulang tadi. Tapi sepertinya bukan itu sumber kemarahannya.

Ck! Danila memija-mijat pelipisnya.

***

Beberapa jam kemudian.

Dini merasa sangat bersemangat, senyum tak lepas dari bibirnya sejak ia bangun dari tidur siang. Tak sabar untuk sampai di jam tiga sore, dia akan bertemu orang yang paling ia sayangi.

Berbanding terbalik dengan Dewa, dia masih murung. Sungguh, ia merasa sangat marah. Orang yang paling ia kagumi sampai pagi hari tadi, tiba-tiba berubah menjadi orang yang paling buruk dalam pandangannya.

Laki-laki itu memang begitu baik, tapi mengapa ia harus menjadi orang yang mengabaikan keluarganya? Bagaimana bisa ia tidak mengenali anak-anaknya sendiri? Ia bersikap seolah-olah Dini dan Dewa orang lain, bukan anak-anaknya.

Dia begitu peduli pada anak-anak orang lain, tapi lihatlah apa yang ia perbuat pada anak-anaknya sendiri. Tidak ada.

Dan, bagaimana bisa ia membiarkan ibunya hidup seorang diri membesarkan dua orang bayi?

Dewa masih ingat  saat ibunya sakit, keadaan mereka begitu sulit, tapi wanita itu masih tetap harus bekerja dan mengurus dua anak kecil.

Seringkali, ia mendapati sang ibu menangis pada malam hari, entah karena apa. Dewa selalu berpikir, bahwa ketiadaan ayahnya adalah penyebabnya.

"Jangan datang ke tempat itu lagi!"

Dewa menghardik Dini yang bersiap pergi ke tempat laki-laki itu mengajar anak-anak kecil.

Dini mengabaikan perkataan saudara kembarnya, gadis kecil  itu sedang fokus memakai sepatu, lantas ia menyampirkan sebuah tas tali ke bahu dalam diam.

"Kamu gak dengar ya?! Jangan datang ke tempat itu!"

Sekali lagi Dewa bicara, tapi Dini malah berlari pergi meninggalkannya. Dia menatap marah punggung saudari kembarnya yang semakin menjauh.

"Gak ikut Dini belajar dengan pak Dokter?"

Danila merasa heran saat mendapati putranya masih berdiri mematung di ambang pintu. Dewa terlihat masih diliputi emosi. Dia masuk ke kamarnya tanpa menjawab pertanyaan sang ibu. Wanita itu memang belum tahu siapa dokter yang selalu diceritakan anak-anaknya. Mereka begitu menyukainya, sepertinya dia begitu baik.

Sayang, dia belum memiliki waktu untuk menemuinya. Pekerjaannya di ladang teh dan kegiatannya membersihkan villa yang sering disewa pengunjung sangat menyita waktu.

Nanti, esok atau lusa dia memang berencana menemui laki-laki itu, untuk berterima kasih, sekaligus berpamitan karena mereka akan pergi dari desa ini.

Danila menatap beranda rumahnya, terlihat bangku dan meja yang setia menemani anak-anaknya sejak mereka ia bawa ke tempat ini enam tahun lalu. Ini adalah rumah, sekaligus tempat persembunyian.

 Ini adalah rumah, sekaligus tempat persembunyian

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.
Mengapa Dia Ayahku?Où les histoires vivent. Découvrez maintenant