Bab 2

7.4K 425 0
                                    

"Halo, Haris! Apa kabar? Kamu tampak sangat baik..... Aku juga baik."

Danila tersenyum di depan sebuah billboard berisi iklan layanan kesehatan, di sana terpampang seraut wajah yang begitu dirindukannya.

Seperti biasanya setiap akhir pekan, wanita itu akan pergi ke kota untuk membeli kebutuhannya dan juga anak-anak.

Hari ini Danila mengenakan sebuah hoodie berwarna hitam dipadu celana kulot panjang berwarna abu-abu. Sebuah masker menutupi mulut dan hidung. Kalau tidak diteliti, orang tidak akan tahu jika ia seorang wanita.

***

Dini dan Dewa sedang bercengkrama di ruang tamu rumah mereka yang sederhana. Ibu mereka belum juga pulang setelah tiga jam lalu pamit untuk berbelanja ke pasar.

"Kita main petak umpet, yuk!" kata Dewa pada adik kembarnya.

"Ayuk! Siapa yang jaga duluan?"

"Kamu, eh aku aja deh."

Dini bergegas mencari tempat sembunyi sesaat setelah Dewa menutup wajahnya dengan telapak tangan.

"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, Sembilan, sepuluh!"

Dewa membuka matanya, sang adik tidak terlihat. Dia mulai mencari di mana kemungkinan Dini bersembunyi.

Anak laki-laki itu berjalan menuju dapur, Dini tidak ada di sana, dibalik pintunya juga tidak ada

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Anak laki-laki itu berjalan menuju dapur, Dini tidak ada di sana, dibalik pintunya juga tidak ada. Begitu juga dengan di kamar mandi.

Dewa masuk ke kamar tidur ibunya, terlihat pintu lemari pakaian bergoyang-goyang. Dia berjalan berjinjit mendekati benda besar berbahan kayu jati tersebut.

"Ketemu!"

Benar saja, dia menemukan adiknya di sana. Tapi, Dini sedang sibuk memperhatikan sesuatu, sebuah amplop berwarna cokelat.

"Apa itu?" tanyanya pada sang adik.

"Enggak tau, eh lihat! Ada tulisannya."

Memang benar, di sana tertulis sesuatu.

"Ayah Dini dan Dewa."

Suasana menjadi hening sesaat setelah Dini membaca tulisan itu.

"Eh! Jangan! 'Kan, kata ibu boleh dibuka pas hari ulang tahun." Dini menghardik saudara kembarnya saat berusaha membuka amplop tersebut.

Dewa menghentikan kegiatannya, dia ingat sebuah janji yang pernah ia ucapkan  pada sang ibu.

"Ayo, kita main petak umpet lagi!" seru Dini.  Gadis kecil itu menarik tangan kakaknya agar mereka menjauhi lemari,  di belakang Dewa, dia menyembunyikan amplop itu, di tempat yang ia pikir tidak akan diketahui saudara laki-lakinya. Lalu, dengan terburu-buru ia menutup pintu kamar ibunya setelah mereka berdua keluar.

***

"Gimana tawaranku? Ini bagus loh, anak-anakmu bisa sekalian sekolah. Kamu gak berencana menyekolahkan mereka di sekolah umum kan?!"


Danila menatap wajah orang yang sedang bicara dengannya, sahabat sekaligus pelindungnya, satu-satunya orang yang tahu keberadaannya, satu-satunya sandaran hidup yang ia miliki.

Rania Wijaya, wanita yang berusia dua tahun lebih tua dengannya itu menawarkan pekerjaan pada Danila. Menjadi seorang pengurus kantin di sebuah sekolah yang dikelola oleh keluarganya.

Rania menjadi seorang Manajer Pemeliharaan di sebuah Boarding School yang didirikan oleh orang tuanya. Jumlah murid yang semakin meningkat dan beberapa karyawan yang berhenti bekerja membuat Rania harus mencari tambahan pegawai.

"Aku jamin, kamu dan anak-anakmu aman di sana." Rania tahu dia harus meyakinkan Danila bahwa dia dan anak-anaknya terlindungi jika ingin mempekerjakannya.

Danila menganggukkan kepala, dia datang ke tempat sahabatnya memang untuk meminta bantuannya mencari pekerjaan baru.

Anak-anaknya sudah besar, sudah harus sekolah. Dia butuh pekerjaan baru yang penghasilannya lebih besar. Sungguh, terasa seperti sebuah pepatah, pucuk dicinta ulam tiba.

"Dua hari lagi siap-siap ya, aku jemput kamu sama anak-anak."

"Hah?! Secepat itu?"

"Iya, tahun ajaran baru sudah dekat, butuh persiapan menyambut murid-murid baru," kata Rania.

***

Dewa tak dapat menahan dirinya lagi. Saat waktu tidur siang tiba, dia mengendap-endap ke kamar ibunya. Dini sudah terlelap, saudari kembarnya itu tidak boleh sampai terbangun.

Kriett.

Dia membuka pintu lemari dengan perlahan-lahan, matanya mencari-cari amplop cokelat yang tadi sempat ia lihat.

Dewa membuka lipatan-lipatan baju ibunya, membuat baju-baju yang tadinya tersusun rapi jadi berantakan.

Ah! Ketemu!

Tangannya bergetar saat menyentuh amplop tersebut. Dia menghela nafas sebelum melihat isi di dalamnya, ini adalah  sesuatu yang telah lama ia tunggu-tunggu.

Benar, ia sudah berjanji pada ibunya untuk menunggu sampai hari ulang tahun yang hanya tinggal beberapa hari lagi. Tapi, ia sudah tidak sabar.

Lagipula, apa bedanya? Toh dia sudah terhitung tujuh tahun sekarang.

Dewa memasukkan tangan kecilnya ke dalam amplop, merogoh benda tersebut untuk dapat meraih isinya.

Tangannya menyentuh beberapa lembar kertas, dia mengeluarkannya. Anak berusia tujuh tahun tersebut membaca kertas pertama.

Itu adalah sebuah potongan majalah, yang berisi berita tentang seseorang.

"Dokter Haris?"

Dewa terkejut mendapati wajah yang begitu dikenalnya, wajah itu membawa begitu banyak kebahagiaan baginya beberapa bulan ini.

Lalu ia membaca lembaran yang lain, sebuah potongan koran dan majalah yang menceritakan tentang  orang yang sama.

Ada satu lembar lagi yang belum ia buka, sebuah kertas yang ukurannya lebih kecil tapi sedikit lebih tebal. Kertas itu dalam keadaan terbalik,

"Pernikahan Danila Ariana dan Haris Prasetya Abdalah"

Dadanya berdetak kencang saat membaca tulisan itu. Dengan tangan gemetar ia membalik kertas dan menemukan dua wajah yang tak asing dalam balutan pakaian pengantin. Wajah ibunya dan dokter Haris.

Jadi, dokter Haris adalah ayah kandungnya?

Seketika dadanya dipenuhi amarah.

"Dewa?! Lagi apa Nak?"

Rupanya Danila sudah pulang, dia mendapati anak laki-lakinya sedang berdiri di depan lemari pakaian.

"Kok, enggak bobo siang sama Dini?"

Danila heran karena Dewa tidak menjawab pertanyaannya, anak lelaki berusia tujuh tahun itu berdiri mematung sambil memegang kerta putih.

Apa?! Kertas?

Danila bergegas merampas kertas itu dari Dewa.

"Kenapa kamu buka? Kamu sudah janji sama Ibu, ingat? Tiga hari lagi Dewa, hanya tiga hari. Kenapa tidak sabar menunggu?"

Danila tidak menyadari dirinya sedang berbicara kasar pada sang anak. Dia panik Dewa sudah mengetahui apa yang disimpannya selama ini.

"Jadi dia ayahku?"

"Jadi dia ayahku?!"

Dewa bertanya dengan penuh kemarahan.

"Kenapa dia ayahku? Kenapa dia harus jadi ayahku?!"

Danila tercengang, dia heran melihat putranya begitu diliputi kemarahan.

"Dewa, ada apa, Sayang?"

"Aku enggak mau! Aku enggak mau dia jadi ayahku! Huuhuuhuu."

Danila memeluk anak laki-lakinya yang tiba-tiba  menangis meraung-raung. Sementara itu, anak perempuan yang memiliki wajah serupa dengan Dewa meneteskan air mata di atas pembaringan.

Mengapa Dia Ayahku?Where stories live. Discover now