(Sudah pernah tamat di tahun 2021)
Fiora Karenina Tanusukmodjo punya satu harapan: dapat merasakan perkuliahan yang terkenang indah sampai ia beranjak dewasa.
Setelah sekian lama hidup dengan rantai terikat tak kasat mata, akhirnya ia mampu keluar d...
Tangan Ray mengusap tengkuk Fiora. Perlahan-lahan napas gadis itu dihembuskan, meski masih dilakukan dengan tertahan. Kepala Ray saat itu lebih dimajukkan. Menahan Fiora yang ingin menghindar.
"Ray, ini—kamu kenapa begini?"
Terbata. Gadis itu panik.
Matanya yang biasa berbinar terang kali ini bergerak-gerak tidak menentu. Ray mendapati lesung di kedua pipi gadis itu saat mengulum bibir.
"Relax, Fiora."
"Fiora mau pulang—"
"Setelah makan."
Ada hening sesaat.
"Tadi kamu nggak mau..."
Ada sindiran. Fiora tipis melempar cibiran.
"Tapi bukan berarti kamu bisa biarin Jevan dan Axel makan masakan kamu." penuturan Ray tenang, tidak ada gurat apapun di wajahnya yang sebenarnya mengatakan tuntutan. "Fiora?"
"Sayang kalau nggak dimakan, Ray."
Fiora nampaknya belum mengerti.
Seperti Ray yang tidak mengerti dirinya saat ini.
Tidak mau lagi menunggu dan menahan, dengan jarak yang terus dikikiskan. Sentuhan di tengkuk adalah dorongan. Napas yang tertahan adalah hasil. Pun jantung yang berdebar. Bibir mereka akhirnya bersentuhan. Hanya sebuah sapuan di awal sebelum Ray mendorong tengkuk Fiora kian rapat, masuk bersamanya. Sentuhan, sapuan, berganti buaian.
"Breath, Fiora." Berkali-kali mungkin Ray akan mengingatkannya. Berkali-kali Ray menahan tubuh gadis yang terpekur, dari keinginan gadis itu beranjak dari lingkup tubuhnya. Ray merasa saat ini seperti sedang membimbing Fiora, dan ia diam-diam menyukainya. Tubuh gadis itu lembut di dekapannya. Ray melepas kacamata yang sampai ia lupa kenakan. Mendesak Fiora kian ke belakang.
Lantas, beberapa saat setelah gadis di dekapannya nampak kewalahan, dan sebentar lagi akan kehilangan napas, Ray melambatkan pagutan. Melabuhkan kecupan-kecupan ringan. Merasakan cengkraman tangan kecil gadis itu di sisi kemejanya.
Ray memberi jarak di antara mereka, memandangi wajah Fiora yang tersipu, malu-malu. Mata masih terpejam, pipi memerah, napas bertabrakan.
Ray mengusap bibir Fiora sebelum kembali menyentuhkan bibirnya di sana. Membelai pipi gadis itu. Menyudahi yang ia lakukan untuk saat ini dengan satu tangan di tengkuk Fiora sedang yang lain di pinggang. Ray mulai merasa ini salah.
Salahnya adalah, dirinya yang bukan menyudahi hubungan ini, malah terjerumus oleh keinginan.
Keinginan yang tidak mendasar.
Empat tahun bersama Veona. Sedang baru lebih dari tujuh hari dengan Fiora dan Ray merasa bukan seperti dirinya. Mereka tidak saling mengenal, di awal. Fiora seharusnya tidak bisa mengusiknya. Gadis itu teramat berbeda dengan Veona dan dirinya yang kaku. Dan, tidak waras, Ray merasakan kepuasan saat apa yang ia seharusnya tidak perandaikan benar. Dipancing ketidaksukaan saat gadis itu tersenyum pada lelaki lain, bukan dirinya.
Ray tidak seharusnya merasakannya.
Lupakah dirinya awal terjadi ini semua?
Bukan sepatutnya, Ray ingin menguasai gadis di dekapannya. Atas hal yang entah apa. Atas apa pemicunya. Tapi, Ray tahu, gadis itu, berbeda.
Setidaknya, Ray memiliki pengalihan dari Veona.
Jemari tangan Ray kembali mengusap bibir Fiora. Menjalar ke rambutnya. Saat itu, mata Fiora perlahan dibuka, sayu. Menatap Ray dari balik kelopak mata, malu-malu. Nampak manis dan lugu.
Sampai Ray teringat malam di mana ia melihat Fiora di kelab malam dan diganggu oleh seseorang lelaki.
Ray menahan rahangnya yang ingin dikeraskan.
Ray menahan tangannya yang ingin mengepal.
Sebaliknya, mengatur dirinya untuk tetap tenang.
"Setelah makan, aku anterin kamu pulang."
"..."
"Kamu udah nggak marah 'kan?"
Wajah kebingungan Fiora, cukup memuaskan Ray.
—
Kepincut nggak sih. Tapi kalau Ray kepincut sama Fiora itu malah serem.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.