"Permisi, Mas. Keretanya sudah mau masuk, masnya bisa siap-siap sekarang."

"Oh, iya." Aku berdiri dan bersiap.

Kaia ikut berjalan bersamaku memasuki kereta.

"Enak ya dapat kursi prioritas," kata Kaia begitu kami duduk.

"Makanya jadi tunet aja, Kai. Dapet prioritas terus," jawabku asal.

"Eh, sori, Ja. Bukan gitu maksudku."

"Iya. Aku tahu."

Aku tahu dia memang tak bermaksud apa-apa dengan mengatakan itu. Aku juga sih yang salah, masih sulit menghilangkan kebiasaan sarkasme. Kadang maksudku juga hanya bercanda, tapi mereka menerimanya seperti ini tadi, jadi membuat mereka salah tingkah. Berbeda denganmu. Kamu, tanpa aku perlu melakukan apa-apa, sudah sering salah tingkah sendiri di hadapanku.

***

"Rekta!"

Suara Bu Yulia yang mengajar Bahasa Inggris hari ini terdengar jelas saat memanggil namamu. Panggilan itu disambut dengan sedikit keributan, cekikik tawa yang ditahan, dan bisik-bisik di kelas.

"Ada apa, Ko?" tanyaku pada Eko yang duduk di sisiku.

"Oh, kayanya sih Rekta tidur barusan, makanya disuruh maju ke depan praktikin describing people." Suara Eko terdengar tak terlalu peduli dengan apa yang terjadi.

Tidur? Setelah tadi pagi kamu heboh sendiri mencari LKS Biologi hanya gara-gara ada yang menanyakan PR padahal hari ini tak ada mata pelajaran itu, lalu sekarang kamu tidur di kelas.

"Hi. I'm Rekta. I'm a hundred and fifty five centimeters tall. I have black wavy hair and dark brown eyes. I have dimple in booth my cheeks?" Kalimat itu berakhir dengan nada tanya, seolah kamu tak terlalu yakin mau mengatakan apa.

Tapi, entah bagaimana, senyuman tiba-tiba mengembang di wajahku tanpa bisa kutahan.

"Very good, Rekta," kata Bu Yulia. "Now please describe about one of your classmate."

Aku menunggu. Bu Yulia pasti sedang menjelajahi daftar nama siswa sekarang.

"Langit Senja," katanya kemudian.

Aku menunggu lagi. Kali ini dengan sedikit semangat yang lebih tinggi, penasaran dengan apa yang akan kamu katakan tentangku. Tapi setelah beberapa menit menunggu, aku tak juga mendengar suaramu.

"Ada apa, Ko?"

"I'm sorry, Ma'am. But I don't really know him. I just met him today." Kamu memohon pada Bu Yulia, membuatku tak perlu menuntut jawaban dari Eko. Kurasa aku tahu apa yang terjadi.

"Oh no. You just need to describe his appearance. What does he look like?"

Rasanya seperti kemenangan ketika jawaban itu keluar dari mulut Bu Yulia. Here we go.

"Langit Senja." Kamu mengambil jeda. "He's maybe one hundred and seventy centimeters tall. He has straight black hair, black eyes," jelasmu.

Senyumku lebar sekali. Kamu lihat?

"And a beautiful smile," lanjutmu kemudian.

Kepalaku langsung tertunduk, berusaha menyembunyikan senyumanku yang semakin lebar seiring kelas yang kembali riuh oleh tawa dan 'ciye ciye' di sana sini sampai Bu Yulia kesulitan untuk menenangkan. Eko yang biasanya cuek juga ikut bersuara.

"Kenapa, Ko?" tanyaku.

"Kayanya dia naksir kamu, Ja. Yang terakhir tadi dia bilang sambil liatin kamu. Terus sekarang anaknya kaya malu banget gitu."

Merah MatahariWhere stories live. Discover now