2. I Never Knew Him

77 35 24
                                    


Aku tidak pernah mengenal siapa dia dan dari mana asalnya. Kemudian dia datang seolah tamu dari masa depan dengan nama yang super aneh berusaha merekrut Mama dariku?



Percakapan-percakapan itu mengalir deras, menukik, menyublim di awang-awang. Sebagian menetap di ingatan, bekal senyum nanti saat sedang melamun sendirian. Tawa yang terlontar di sekelilingnya hanyalah uap panas hasil rebusan badai. Seperti menertawai kehancurannya saat itu. Tepukan di bahu dan dorongan tak sengaja adalah bencana di tengah lamunannya.

Darwin sekali lagi menoleh. Memastikan Tania masih cukup waras untuk tidak membalik meja di depannya. Gadis itu terlihat kusut, seperti lampu jalan yang berpendar dua detik sekali alias minta diganti. Sebelum Mahera atau Rajiv menyadari, sebelum Helen menoleh ke gadis itu lagi, cepat-cepat Darwin mengambil ponselnya. Dengan sedikit sentuhan gerak kejut, supaya berkesan ada pesan masuk.

"Eh, aku pulang duluan ya. Ditunggu Bunda di rumah. Ayo Tan!" Darwin meninggikan suaranya, sambil menepuk bahu Tania. Lebih dari cukup untuk membuat gadis itu tersadar.

"Ok, salam buat Tante Miranda ya. Kapan-kapan kita dateng buat ngerecokin meja makan lagi. Browniesnya enak."

Itu hanya tanggapan Rajiv. Tentu Mahera dengan segala keperfectsionisannya tetap bertanya.

"Are you leaving soon? Mau diajak pergi? Yakin nggak mau nunggu spaghetti sambal matah dulu?"

"Enggak deh, lain kali aja. Have a good one, guys!" Darwin memilih menjawab pertanyaan terakhir Mahera untuk menghindari berbagai pertanyaan lain yang akan keluar dari mulut temannya itu.

***

Dalam kondisi seperti ini, biasanya homonculus dalam dirinya akan mengeluarkan berbagai kalimat untuk menghibur diri sendiri. Dan itu sedang terjadi sekarang, walau tidak terlalu berfungsi. Kakinya bergetar antara takut yang dikhawatirkannya terjadi, atau karena perutnya hanya terisi segelas green tea. Tangannya dingin. Bukan karena angin, mungkin saja karena tak tahan membuka pintu rumah dan menangis keras-keras.

Tapi bukannya ke arah rumah, Darwin justru berbelok. Mengganti jalur. Tania terkejut, namun tetap diam tak menanggapi. Gadis itu berusaha lebih keras menahan deru air matanya ketika Darwin turun sebentar di mini market untuk membeli dua botol minuman dingin.

Kemudian keduanya kembali melaju. Melewati kesepian di tepi-tepi jalan. Dan hamparan bunga kenikir kuning tiba-tiba menarik perhatian Tania. Sayang, sepertinya itu lahan milik orang. Masih terlihat terawat, dan tidak memberi kesan "siapapun boleh masuk" ke wilayah itu.

Suara debur dan bau asin laut makin membara. Tania menghirup udara banyak-banyak, lantas mengeluarkannya perlahan. Cukup untuk membuatnya tenang.

Darwin menepikan motornya, menuntun Tania untuk turun ke pantai. Tidak ada orang selain mereka di sana. Sepertinya pantai itu memang tidak atau belum dibuka untuk umum. Baru sekali ini Tania datang. Tidak ada gazebo, warung pinggir pantai, atau tanda-tanda kehidupan lain yang mungkin terjadi.

Darwin menuntunnya ke batuan besar di bawah pohon kelapa yang tumbuh rendah. Cukup untuk menghalau sinar matahari. Pemuda itu mengeluarkan sebotol minuman dingin dan menyerahkannya ke Tania setelah membuka segel tutupnya.

"Aku tahu kamu lagi butuh waktu sendiri. Tapi aku nggak mungkin biarin kamu pulang, terus bikin Bi Nah bingung karena kamu nangis di rumah. Ngurung diri di kamar, menolak makan, apalagi?"

Tania memandang botol minuman dingin di tangannya. Tenggorokkannya tiba-tiba terasa sakit, kemudian matanya. Seperti tangis yang mendesak keluar.

"I'll waiting for you. Here."

Not My World [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang