2. Alone

11.5K 973 136
                                    

JANGAN LUPA SEBELUM BACA VOTE DAN KOMENNYA YA TERIMAKASIH.

"Semesta sampaikan padanya aku sangat-sangat merindukannya." ~Aira Arketa.

Sinar matahari memasuki celah celah jendela kamar Aira. Pagi yang indah, Aira bangun dari tidurnya melirik jam dinding yang berada di kamarnya. Jam sudah menunjukan pukul 05:30.

Aira besiap siap untuk berangkat ke sekolah. Setelah selesai, Aira melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Aira melihat keluarganya yang sudah duduk di meja makan untuk sarapan.

Aira ikut duduk di meja makan dan ada Diva di sampingnya, Aira hanya terdiam saat Diva bermanja manja dengan papahnya. Pemandangan itu sudah biasa di mata Aira walaupun di hatinya sangatlah iri.

Aira tidak mengucapkan selamat pagi seperti biasanya pada mereka semua. Hardi papah Aira merasa aneh dengan sikap Aira pagi ini.

"Mah, pah Aira berangkat sekolah duluan ya," pamit Aira mencium kedua tangan kedua orang tuanya.

Aira dan Diva tidak satu sekolah. Diva bersekolah di sekolah yang mewah dan megah sedangkan Aira bersekolah di suatu sekolah Negri biasa tidak megah dan tidak juga mewah, sederhana tapi banyak preatasi yang Aira dapat di sana.

♡♡♡

Sesampainya Aira di sekolah. Semua mata manatap tajam dan tidak suka kepada Aira. Semenjak bunda Aira meninggal banyak gosip miring di sekolahnya, salah satunya adalah gosip tentang Aira yang membunuh bundanya sendiri. Banyak yang bilang Aira adalah psikopat tapi nyatanya tidak, maka dari itu tidak ada yang mau berteman dengannya, katanya mereka takut nasibnya sama seperti bundanya Aira.

"Jangan dekat dekat dia, nanti lo di bunuh. Ibunya aja di bunuh apa lagi kita yang cuma temannya," bisik salah satu siswi pada temannya. Namun, terdengar jelas di telinga Aira.

"Jangan asal ngomong lo kalo ga tau apa apa!" Bentak Nadin teman sekaligus sahabat satu satunya yang Aira punya di sekolah. Sedangkan yang di bentak sudah menatap sengit Nadin.

"Din, udah gapapa. Ke kelas yu," ucap Aira mengajak Nadin pergi.

Nadin adalah sahabat Aira dari SD hingga sekarang. Aira menganggap Nadin seperti saudaranya sendiri begitupun juga Nadin. Nadin tau semua kehidupan dan masalah Aira. Nadin adalah orang kedua tempat untuk berbagi cerita setelah bundanya.

"Gue bingung kenapa ada orang sebaik lo Ra. Seharusnya lo tuh marah di gosipin kaya gitu," ucap Nadin kesal dan tidak terima.

"Kenapa gue harus marah? Gue'kan ga salah mereka juga ga salah Din, mereka cuma ga tau kebenarannya aja," ucap Aira.

"Pengen gue sambelin aja tuh orang mulutnya."

Nadin berbeda dengan Aira. Aira orang yang penyabar dan tenang dalam menghadapi masalah sedangkan Nadin orang yang emosian dan tidak mau di usik.

"Makasih ya lo selalu percaya sama gue dan makasih juga udah mau jadi sahabat terbaik gue."

"Makasih selalu ada, makasih selalu ada, tapi mengapa tiba tiba seakan ku kau pergi," ucapa Nadin bernyanyi sambil terkekeh pelan.

Nadin menatap Aira dengan mata berbinarnya. "Gue yang berterimakasih sama tuhan, karena udah di kasih sahabat sebaik dan sekuat lo," ucap Nadin memeluk Aira dengan sayang.

Aira membalas pelukan Nadin.

"Keep strong ya Ra." Bisik Nadin di telinga Aira. Aira tersenyum senang di balik pelukan Nadin.

♡♡♡

Sesampainya Aira di depan rumahnya setelah pulang sekolah, Aira melangkah kakinya masuk ke dalam rumah.

Aira mengucapkan salam namun, tidak ada yang menjawabnya.

Sunyi. Itu yang Aira rasakan. Tidak ada lagi yang menyambutnya pulang seperti tujuh tahun yang lalu. Aira tidak menyangka kepergian bundanya membuat hidup Aira seperti ini.

"Non udah pulang," sapa bibi Aira.

"Udah bi, rumah kok sepi pada kemana?"

"Ga tau non emang belum pada pulang, nyonya juga belum kasih kabar apa apa ke bibi."

"Oh gitu ya bi, Aira pamit ke kamar ya bi."

"Iya non."

Kaki Aira mulai masuk ke dalam kamar, mengambil sebuah foto yang terpajang di atas meja, memperlihatkan keluarga Aira yang utuh terdapat Aira, papah, bunda, dan kedua abang lelaki Aira yang sedang tertawa bahagia.

"Aira rindu kalian yang dulu," ucap Aira memeluk bingkai foto miliknya.

Suara deru mesin mobil membuat lamunan Aira terhenti, Aira beranjak dari duduknya dan mengintip di jendela kamarnya.

Ternyata itu mama, papah dan Diva. Kenapa mereka bisa pulang bersama?
Apa mama dan papah menjemput Diva ke sekolah?

Aira melihat belanjaan yang Diva bawa, sepertinya mereka habis pergi tanpa dirinya lagi pikir Aira, sudah biasa bagi Aira yang selalu saja tidak di ajak pergi.

"Pah, makasih ya tas'nya Diva suka," ucap Diva di bawah sana sambil menggandeng tangan papahnya.

"Sama sama sayang," jawab papahnya mencium kepala Diva dan berjalan masuk ke dalam rumah.

Aira tersenyum kecut. Aku harus kuat, bukannya sudah biasa aku melihat dan tidak di anggap di sini, batin Aira menguatkan dirinya sendiri.

Iri rasanya orang tuanya tidak bisa berlaku adil pada dirinya, hanya karena salah paham. Mungkin suatu saat nanti jika semuanya terungkap orang tuanya bisa berlaku adil pada dirinya. Dan Aira selalu menunggu hari itu tiba.

♡♡♡

Aira turun kebawah untuk mengambil minum di dapur. Namun Aira memberhentikan langkahnya setelah mendengar jelas gelak tawa dari arah ruang keluarganya. Itu suara papah, mama dan Diva. "Aku pikir mereka semua sudah istirahat." Ucap Aira mengintip dari balik pintu.

"Pah nanti kalau Diva udah lulus sekolah papah bakal kuliah'in Diva'kan?" Tanya Diva.

"Tentu dong sayang kamu'kan anak gadis kesayangan papah satu satunya."

"Anak mama juga dong pah."

"Anak kita bersama mah," gelak tawa mereka bertiga lepas begitu saja.

Aira menangis mendengar itu. Mengapa papahnya berkata seperti itu, sedangkan kenyataannya papahnya mempunyai dua anak gadis, bukan hanya satu.

"Satu satunya?" Batin Aira meringis.

Ingin rasanya Aira masuk dan menentang ucapan papahnya itu dan mengingatkan papahnya kalau ia juga punya anak yaitu dirinya, tapi nyali Aira selalu menyiut jika berhadapan dengan papahnya.

Aira hanya terdiam kaku di depan pintu. Ia tidak jadi untuk pergi ke dapur ia berlari masuk kembali ke dalam kamarnya.

Kenapa setiap Aira keluar kamar ada saja yang menyakitinya entah itu lewat kata maupun perilaku mereka.

Kenapa tidak ada yang membuatnya tersenyum dan membuatnya senang. Kenapa dunianya selalu saja menyakitinya.

Boleh Aira marah pada kedua orang tuanya sendiri?

Pikiran selalu menjawab iya, tapi hatinya selalu menentang tidak. Dan Aira selalu saja mengikuti kata hatinya.

"Jangan selalu ngikutin kata hati Ra, kadang lo juga perlu ikutin kata logika. Ga semua hal harus pakai hati," tiba tiba Aira teringat ucapan Nadin.

Ucapan Nadin tadi, bersahut sahutan dengan pertanyaan Aira.

"Apa aku boleh marah pada orang tua ku sendiri?" Tanya Aira sekali lagi pada dirinya sendiri.

TBC

Spam next ya.

Sembunyi Dalam Senyum [COMPLETED]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant