Part 8

4 1 0
                                    

Dio tidak setuju dengan gaun biru yang dipilih Gia. Dia bilang kalau gaun itu tidak menunjukkan sisi feminin yang Gia punya.

"Tapi, ini bagus sekali," ujar Gia. Dia menunjukkan lekuk pinggangnya yang terlihat jelas dan potongan sabrina yang membuat lehernya tampak lebih jenjang.

"Coba yang hitam," kata Dio. Menunjuk kotak lain yang tergeletak di lantai.

Gaun hitam ini bukan yang disukai Gia karena modelnya yang mengembang di bawah. Panjangnya hanya sampai dengkul dan dia merasa tidak percaya diri dengan betisnya.

"Kalau kamu pakai high heels, kakimu akan terpaksa ada di posisi berjingkat yang membuat betismu kelihatan bagus sekali," jelas Dio.

"Dari mana kamu tahu hal seperti ini? Aku yang perempuan saja enggak pernah tahu." Gia tahu pertanyaannya bodoh karena ibu Dio adalah desainer pakaian yang terkenal. Sementara dia, menghabiskan seluruh hidupnya untuk bermain di antara komputer dan kabel di laboratorium ayahnya.

Dio membuat simpul kupu-kupu dengan cepat di bawah lehernya. Hal itu benar-benar mengesankan untuk Gia. Dia berhenti sebentar untuk melihat Dio mengambil jas dan memakainya dengan gayanya yang gallant. Gia tahu kalau dia punya banyak alasan untuk jatuh cinta pada lelaki ini sejak pertama kali mereka berjumpa di laboratorium ayahnya sepuluh tahun yang lalu. Salah satunya adalah hal ini—selain karena banyak pujian tentang otak lelaki ini yang diberikan oleh ayahnya.

"Pakai gaunmu cepat," ujar Dio, "aku sudah siap, nih."

Gia terkesiap. Dia membuka kotak yang tadi ditunjuk Dio dengan cepat dan berlari ke kamar untuk membuka gaun biru panjang yang sedang dia pakai dan menggantinya dengan gaun hitam yang menurut Dio akan lebih cocok dengannya.

... dan memang seperti itulah adanya. Gaun itu membuatnya tampak sedikit berbeda. Lebih ramping, lebih lembut, entahlah....

"Lebih elegan," ujar Dio. Dia menemukan kata yang tepat.

"Hu-um, sepertinya begitu." Gia setuju. Kali ini, dia setuju.

Dio lalu berjongkok dengan satu kaki dilipat ke belakang. Gia tertawa.

"Mau melamarku, Dio?" tanya Gia.

"Seandainya kita punya waktu untuk itu, aku akan melakukannya, tentu saja," jawab Dio.

Kalimat itu tidak dikatakan dengan canda. Ada sakit yang tertahan di sana. Sakit yang juga dirasakan Gia. Sakit yang tidak lagi ingin mereka bicarakan—karena sudah tidak ada waktunya.

"Sekarang, aku hanya ingin membantumu memakai ini. Pigalle Classic 85mm, nude."

Dio memegang sebelah sepatu itu dengan kedua tangannya. Meletakkannya serendah mungkin dengan lantai sehingga Gia bisa memasukkan kakinya dengan mudah.

"Kanan dulu," ujarnya lagi.

Gia mengangkat kaki kanannya dan Dio membantu kaki itu mendarat tepat di sepatu yang dia pegang dengan tangan kirinya.

"Pas sekali," katanya kemudian. Tersenyum. "Satu lagi."

Gia merasakan tubuhnya terangkat dan posturnya terlihat lebih baik di atas sepatu itu. Dia mencoba berjalan beberapa langkah, menyesuaikan diri dengan heels tinggi yang awalnya, dia pikir, akan membuatnya terjatuh. Tapi ternyata tidak. Dia bisa seimbang dengan mudah di atas heels itu. Kakinya pun terasa nyaman, tidak sakit sama sekali.

"Reservasi kita satu jam lagi. Sebaiknya kita cepat," ujar Dio. Dia menumpuk semua laptop yang ada di meja, memasukkannya ke dalam kardus, dan menyiramnya dengan satu jerigen bensin yang diambil dari sudut ruangan. Sisa isinya, dia siramkan asal ke sofa, meja, dan tembok. Dio lalu mengambil satu lilin ukuran sedang, meletakkannya di meja yang basah oleh bensin, dan menyalakannya.

"Oke. Aku siap," kata Gia.

Dia menarik tangan Dio. Mereka berlari keluar apartemen tanpa mengunci pintu. Melewati tangga dan langsung masuk ke mobil. Ketika Dio menekan tombol dan memindahkan mode ke autopilot, Gia memegang punggung tangan lelaki itu.

"I wish I can see you again in another life," ujarnya pelan dan pilu.

"Jangan menangis. Nanti makeup-mu luntur." Dio mendaratkan satu ciuman ringan di kening Gia. "If there are other lifes, I will ask for you in every one of them."

* * *

85 MillimetersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang