Part 4

7 3 0
                                    

Gia menolak untuk kedua kalinya ketika Dio memanggil dari balik layar laptop-nya. Dia tetap duduk di sofa sambil mengunyah keripik kentang. Dio tidak menyerah. Dia membawa laptop-nya dan menghempaskan tubuhnya di samping Gia.

"Ayolah," rayu Dio.

"Harganya enggak masuk akal," sahut Gia.

"Tapi ... lihat betapa cantik dan elegannya dia," Dio memberi alasan. "Dan ini," katanya sambil menunjuk bagian heels dengan kelingkingnya, "lancip sekali."

"Kamu yakin aku bisa berjalan di atas benda seperti ini? Louboutin with sharp heels like guillotine?"

Dio tersenyum. Manis sekali dan Gia sangat suka. Namun di kondisi seperti ini, Gia tahu kalau Dio menggunakan senyum itu untuk meluluhkan hatinya.

"Jangan tersenyum!"

"Kenapa? Kamu cantik dan selera sepatumu menyedihkan sekali," ujar Dio. Cowok itu menunjuk ke Sperry buluk yang dipakai Gia. Entah sudah berapa lama dia memakai sepatu itu dan belum juga ingin membeli yang baru padahal bentuknya sudah tidak karuan. Warnanya apalagi.

"Itu restoran mewah, Gia. Ada dress code-nya."

"Tapi, enggak harus dengan sepatu seperti ini, kan?"

"You said, it has guillotine heels. It does."

Mata Gia membulat.

"Kamu enggak bermaksud—"

"—iya, aku bermaksud demikian," jawab Dio. "Enggak ada yang curiga kalau kamu memakai sepatu seperti ini."

"Tapi, kan, bisa yang enggak semahal ini." Gia masih berkeras.

"Enggak. Harus yang semahal ini karena, kamu lihat, kan?" Dio menekan touch pad sehingga gambar sepatu itu dari berbagai sisi bergantian tampak di layar laptop-nya. "Solnya merah dan...."

"Dan?"

"Itu akan membuatmu selalu teringat untuk—"

Kalimat ini memang tidak diselesaikan Dio karena kemudian dia menoleh ke arah Gia yang terdiam. Mereka sudah saling paham. Mereka sudah saling tahu apa yang harus dilakukan.

"Dia cantik sekali," ujar Gia.

"Told you." Dio tersenyum lagi, "120mm?"

"85mm, please."

* * *

85 MillimetersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang