Part 7

4 1 0
                                    

Malam itu, Gia tidak tidur. Dia sengaja menahan kantuknya setelah seorang synth perempuan mengantarkan makanan dan Gia yakin, di salah satu makanan itu, dimasukkan obat tidur—dan mungkin juga obat-obatan lain yang gunanya entah apa—karena dia merasa cepat sekali mengantuk setiap kali habis makan. Dia mengerti kalau Pram sedang mengulur waktu dan dia mengikuti permainan ini dengan sabar. Dia juga perlu waktu yang diulur itu, dan ini yang tidak diketahui Pram.

Bodoh, pikir Gia.

Gia tahu akan ada synth yang datang setiap dua jam sekali untuk mengecek keadaannya. Menghitung lama waktu yang berlalu sejak makanan terakhir diantarkan, synth itu akan datang sebentar lagi. Gia menarik selimutnya dan mencoba menutup matanya. Berusaha tenang agar ketika synth itu masuk, dia menyangka Gia sudah tidur.

Namun Gia tidak suka ada di keadaan ini; tidak tidur tapi menutup mata. Bayangan Dio, apartemen mereka yang berantakan, dan rencana yang mereka persiapkan nyaris dua tahun lamanya di sana ... semua menyakitinya. Dia merasakan sakit itu di dadanya dan membuat dia harus menekan dadanya keras-keras untuk meredam tangisnya. Dia tidak boleh menangis. Seperti yang dikatakan Dio malam itu, ketika mereka sedang makan malam di restoran mewah yang dipesan Dio mejanya sejak seminggu sebelumnya.

Kamu enggak boleh menangis. Enggak boleh. Karena setelah ini, hanya kamu yang bisa.

Synth yang ditunggu Gia datang juga. Membuka pintu dan mendekat ke arahnya. Menekan nadi di pergelangan tangannya. Gia membuka matanya. Synth itu terkejut—Gia tahu dia terkejut—tetapi ekspresi wajahnya tidak memperlihatkan apa pun. Synth ini berbeda dengan yang tadi datang. Tidak pernah ada dua synth yang sama datang ke ruangan ini. Entah synth yang datang kalau dia sedang tidur.

Bodoh, ujar Gia lagi di dalam hati.

Gia menatap synth itu; cantik dengan rambut cokelat gelap. Matanya yang berwarna cokelat terang—nyaris pias—membuatnya tampak sedikit manusiawi. Synth itu menatapnya balik setelah Gia memberikan kode untuk memperhatikannya dengan dua gerakan matanya. Perpaduan antara gerak bola mata dan kedipan kelopak matanya. Synth itu menuruti perintah Gia.

Sekarang, dia perlu untuk memasukkan perintah lebih panjang ke kepala synth ini melalui matanya. Dia sudah menghapal perintah itu lebih setahun lamanya. Dia tidak akan lupa. Dia akan melakukannya dengan benar. Sekali jalan.

... karena sekarang, hanya dia yang bisa.

"Sudah berapa lama aku ada di sini?" tanya Gia.

"Lima hari," jawab synth itu.

"Bagus," ujar Gia. "Waktunya sudah cukup."

Synth itu masih menatapnya.

"Tersenyum," perintah Gia.

Synth itu tidak melakukan apapun. Wajahnya kaku dan ekspresinya seperti patung.

"Karena itu kalian bukan manusia," ujar Gia lagi. "Bawa aku ke ruang kontrol. Aku yakin kalau aku ada di tempat yang tepat. Siapa namamu?"

"C223F."

"Kamu seri C, seri ketiga. Model baru kalau begitu," kata Gia mencoba berbasa-basi dengan synth itu—sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Lanjutnya, "Seri ketiga sepertimu punya bugs yang enggak juga mereka perbaiki. Buatan manusia seperti kalian enggak pernah akan sempurna."

Synth itu berjalan menjauhi Gia dan membuka pintu. Gia mengikutinya dari belakang terus melewati lorong sampai ke ujung dan berbelok ke kanan. Gia masih mengingat jalan ini. Dia melewatinya kemarin—kalau sense of time-nya benar. Karena dia mengira kalau dia baru berada di sini dua hari, paling lama. Ternyata, dia sudah berada di sini lima hari.

Ruang kontrol itu masih sama seperti yang dia lihat kemarin. Dengan synth yang sibuk melakukan ini-itu di depan monitor besar. Gia masuk dan berhenti sebentar setelah pintu ditutup. Empat synth yang ada di sana menatapnya.

"Katakan pada mereka untuk pergi dari sini dan sebarkan pesan yang aku berikan," ujar Gia pada synth di sampingnya. Dia lalu menatap synth itu lekat-lekat. Menggerakkan bola mata dan kelopaknya. Mengatakan semua yang harus dia katakan pada synth itu.

"Lakukan!" perintahnya.

Synth itu mendekati satu persatu synth yang ada di sana dan kemudian mereka keluar dari ruangan itu. Meninggalkan Gia sendirian dengan puluhan monitor yang menyala. Gia tahu apa yang harus dilakukan. Dia harus melakukannya. Karena sampai di sini, hanya dia yang bisa.

Dia lalu mendekati monitor yang paling dekat dengan tempatnya berdiri. Melihatnya sebentar sebelum akhirnya mengetikkan sesuatu di keyboard. Monitor itu berubah hitam. Lalu semua monitor di ruangan itu berubah hitam. Gia berjalan ke meja panjang yang ada di dekat kaca besar yang membuat ruangan ini tampak seperti akuarium kalau dilihat dari luar. Ada sepatunya di situ. Dia mengambil satu dengan heel yang rusak—yang sebelah kiri. Di bagian sol sepatu itu, tampak noda darah yang tidak terlihat jelas kalau tidak diperhatikan baik-baik. Tersamarkan dengan warna merah menyala sol itu.

"Red sol," ujar Gia pelan.

Dia mengambil sepatu yang sebelah lagi dan meletakkannya di lantai. Memasukkan kakinya ke sepatu itu. Rasanya masih sama; nyaman dan karena itu Dio bilang bahwa harga memang menentukan kualitas. Sepatu ini tidak menyakiti kakinya.

"Dan sekarang lengkap sepasang."

Terdengar suara pintu dibuka kasar. Gia menoleh. Pram berdiri di sana dengan entah berapa banyak petugas keamanan berpakaian hitam di belakangnya, siap dengan senjata laras panjang. Pram mendekati Gia dan menempelkan ujung pistol di kepala gadis itu.

"Kau memang ingin dibawa ke sini. Memang itu tujuanmu," kata Pram dengan emosi di tahan. Ada kerutan di antara alisnya. Membuat wajah yang memang sudah tidak ramah itu tampak sedikit lebih menakutkan.

"Lama sekali kau baru paham," ujar Gia sinis.

"Codes apa yang kau masukkan barusan?" tanya Pram lagi. Gia melihat dengan sudut matanya kalau telunjuk lelaki itu berpindah ke arah pelatuk.

"Enggak ada codes yang kami masukkan," jawab Gia. Dia menggunakan kata 'kami' untuk mengingatkan Pram bahwa dia tidak pernah melakukan ini sendirian. Dia selalu berdua dengan Dio. "Tujuan kami memang tempat ini. Seperti katamu."

* * *

85 MillimetersWhere stories live. Discover now