Part 3

8 3 0
                                    

"Codes apa yang kalian masukkan?"

Pertanyaan itu diucapkan dengan suara berat yang serak. Pemiliknya mungkin terlalu banyak merokok dan tidak juga bisa berhenti sampai sekarang. Dia membuka mata. Melihat ke sekeliling. Ruangan itu putih dan bersih. Tidak ada wangi apa pun—dan ini bagian yang paling tidak membuatnya nyaman. Kalau ini rumah sakit, tentu akan ada bau obat-obatan, tetapi ini tidak. Dia tidak bisa menerka ada di mana dia sekarang.

Kalian.

Kata itu diberi penekanan dan membuatnya tersenyum.

Pemilik suara itu mendekatkan wajahnya dengan sedikit membungkuk. Dia lalu menekan tombol yang menggerakkan bagian belakang tempat tidur. Membuatnya nyaris tegak sehingga gadis itu terpaksa duduk. Pinggangnya terasa sakit. Dia merabanya. Sakitnya terasa dalam dan luas. Mungkin memar karena bekas jatuh atau dipukul. Entahlah.

"Gia," panggil suara itu. "Codes apa yang kalian masukkan?"

Gia memandang lelaki itu. Memberi wajah pada suara. Dia mengenalnya. Wajahnya tidak menakutkan. Ada kumis dan jenggot dengan helai-helai perak yang mulai muncul. Rambut yang terlihat seperti tidak pernah disisir dan dirapikan berhari-hari.

"Bukan rahasia lagi kalau aku memberitahumu, Pram" jawab Gia.

"Biasanya kau memanggilku Pakdhe Pram."

"Kau bukan kakak ayahku." Gia mengatakannya dengan sengit. Berusaha mengisi kalimat itu dengan sebanyak kebencian yang dia bisa. Lelaki itu tersenyum. Seperti tidak terpengaruh.

"Kepalamu masih lebih keras dari batu," ujar Pram.

"Kau enggak ingin tahu seberapa keras hatiku?" tantang Gia.

Pram itu mundur beberapa langkah. Membuka pintu putih yang ada beberapa meter di depan mereka. Ruangan ini aneh, menurut Gia. Hanya ada satu tempat tidur untuk ukuran yang terlalu luas. Satu buah lampu di tengahnya dan pintu itu. Semuanya putih.

Satu orang perempuan datang dan masuk ke ruangan. Gia tidak suka wajahnya. Matanya cokelat muda.

"Kau punya ribuan synth di sini," ujar Gia.

"Lebih dari ribuan," koreksi Pram. "Terima kasih pada usaha keras ayahmu, yang sudah aku anggap seperti kakakku sendiri itu."

"Ayahku memanggil mereka synthetic karena sekuat apa pun manusia berusaha, mereka akan selamanya jadi tiruan." Gia mendengus.

"Sayangnya, ayahmu tidak pernah tahu apa yang bisa dilakukan selanjutnya," Pram berkata tenang. "Atau sesuatu yang kemudian disebut dengan; synthetic aestethic. Tapi, kau tahu, Gia."

Synth yang disebut Gia mendekat dan sebelum dia tahu, ada sesuatu yang dingin menusuk di dekat pergelangan tangannya. Dia tidak menoleh. Dia membiarkan saja synth itu melakukan apa yang ingin dia lakukan. Gia ingin menatap matanya. Namun synth itu menunduk. Dia lalu mendekatkan kepalanya dan perempuan itu memundurkan sedikit wajahnya, terkejut. Mereka bertatapan beberapa lama. Gia menahan pandangan itu selama yang dia bisa.

"Kau akan memberitahuku," ujar Pram. "Cepat atau lambat. Sukarela atau terpaksa."

"Kami harus melakukan ini sebelum kau membuat kerusakan ... lebih ... jauh la—"

Setelah itu, Gia merasa kepalanya berat dan pandangannya menghitam. Dia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.

* * *

85 MillimetersWhere stories live. Discover now