Part-1

21 4 0
                                    

Tidak ada yang aneh dengan pagi itu; matahari yang selalu datang tepat waktu, langit biru yang mulai sembuh dari semburat merah-jingga, dan burung-burung hitam yang terbang melintasinya. Gadis itu mendongak. Menutupi sebagian kening dengan telapak tangan. Kepalanya terasa seperti berputar. Tubuhnya dingin tapi kulitnya basah. Berkeringat. Dia berjalan ke tepi, lebih dekat ke tong sampah yang berjejer di tepi jalan. Mencari mana yang bisa dia pakai untuk—

—terlambat.

Dia sudah mengeluarkan isi perutnya di salah satu tong sampah dengan tulisan hijau; Sampah Organik.

Muntah bisa didaur ulang, pikirnya.

Dia tidak peduli dengan beberapa orang yang memperhatikan dari sudut mata mereka sambil melintas. Menghapus sudut bibirnya dan menarik panas panjang. Semua terasa lebih enak sekarang, kecuali ... kakinya. Dia menunduk. Melihat hanya ada satu buah sepatu di sana, tersisa di sebelah kanan. Louboutin Pigalle Classic 85mm, nude. Dia teringat betapa sulit mendapatkan sepatu ini. Dia harus menunggu stok tersedia sampai beberapa bulan dan semua itu harus dibayar di muka. Kontan. Jangan tanya harganya karena tidak akan masuk akal untuk sepasang sepatu.

Dia merasa ada titik-titik bening dari matanya yang jatuh mengenai ujung sepatu itu. Dengan cepat dia seka dengan ujung jarinya.

Sendiri, bisiknya, ... sekarang sebelah.

Dia berjinjit dengan kaki kiri untuk menyamakan tinggi heel sepatu di kaki kanannya. Lalu berjalan beberapa langkah. Ada bercak merah di sepatu itu. Dia berhenti. Melepasnya. Lalu menghapus dengan ujung gaun hitamnya yang berantakan.

Dia membalik sepatu itu. Memegang heel-nya dan mengamati solnya yang berwarna merah terang. Menyentuh ujung sol itu sebentar dan berjalan lagi. Menyeberang jalan raya untuk sampai di halte bus. Menenteng sebelah sepatu, tetapi bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Hal yang paling ingin dia lakukan sekarang adalah menghindari pandangan orang-orang. Dia meluruskan lehernya. Memandang ke depan. Menatap setiap mata yang curiga pada keberadaannya. Bukan hanya rambutnya yang sedikit acak-acakan, tetapi juga makeup-nya yang mulai luntur, bajunya yang berantakan, sebelah sepatu yang dia tenteng di tangan kirinya, dan kakinya yang telanjang—mungkin ini yang terakhir mereka lihat.

Dia melihat mata-mata itu. Mata cokelat muda yang kosong meliriknya. Beberapa kali. Mata dengan warna seperti itu begitu banyak. Setiap kali, mata itu akan memandang ke arahnya. Dia menatap balik. Menggerakkan bola matanya berkali-kali. Dia tidak peduli dengan bagaimana penampakan pemilik mata itu. Tidak penting. Sama sekali tidak penting. Mata dengan warna-warna selain ini, dia tidak peduli. Salah satu mata berwarna hitam menyapanya. Menyeringai ketika berpapasan dengannya di zebra cross.

"Malam yang buruk, heh?!" tanyanya.

Dia ingin menjawab, ini lebih dari sekedar malam yang buruk. Namun kemudian dia teringat bahwa dia tidak boleh lengah.

Sampai di halte, dia terdiam. Melihat ke sekeliling sebelum akhirnya mendekati salah satu pemilik mata cokelat muda. Dia berdiri di depannya. Berhadapan. Dia ingin sekali menangis. Namun, isak pertama ditelannya cepat. Dia tidak tahu seberapa lama dia mampu bertahan.

Dia tetap mencoba membuka kelopak mata itu berlama-lama, membuat saling pandang itu bisa berlangsung lebih dari beberapa detik. Dia mengerakkan bola matanya sambil memastikan bahwa setiap pergerakan itu dilihat dan direkam oleh mata yang ada di depannya. Matanya pasti memerah sekarang, dia tahu itu. Pemilik mata cokelat muda itu balik menatapnya lalu dia berjalan ke tempat loket. Membeli dua tiket yang salah satunya diberikan padanya.

"Dio, kamu berhasil," bisiknya. Gia tersenyum. Dia lalu berterimakasih. Itu bukan hal yang perlu dilakukan, tetapi dia ingin mengucapkannya pada synth itu.

"Terima kasih."

* * *

85 MillimetersWhere stories live. Discover now