CHAPTER 2: BAHAGIA ITU SEDERHANA

129 10 0
                                    


"Abang punya sedikit rezeki buat kamu. Semoga bisa membantu. Jangan lupa dibagiin sama yang lain!"
~Vero

~•~•~

Lagi-lagi kami terjebak di tengah kemacetan. Bunyi klakson kendaraan saling bersahutan satu sama lain. Membuat pendengaran setiap orang yang mendengarnya menjadi terganggu. Begitu pun dengan Alfa. Ia menghembuskan napas panjang sambil melirik ke arah belakang. Manik matanya terpaku pada Zaka dan Jacky yang tengah tertidur pulas. Pantas saja, tadi terasa agak sepi. Menyisakan ia dan Vero yang masih terjaga. Rasanya sangat membosankan berada di tengah kemacetan ditemani dengan bunyi klakson, pekikan orang yang tidak sabaran, dan polusi udara yang menyebar di sekitar kota.

"Lo nggak ikutan tidur?" tanya Vero seraya menyesap batangan nikotin yang terselip di sela jemari tangannya.

Alfa menggeleng. "Nggak."

"Kenapa?"

"Cerewet," sembur lelaki tampan itu.

Vero mendecih kecil, kembali menyesap lintingan rokoknya. Alfa menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Menatap birunya langit dari balik kaca jendela. Iris matanya memicing saat melihat segerombolan pengamen jalanan. Pandangannya terus tertuju pada pengamen tersebut.

Hingga mereka menghampiri satu-persatu kendaraan yang terhenti karena terjebak macet. Mereka menyanyikan sepenggal lagu seraya memetik senar ukulele. Selesai menyanyi, mereka menengadahkan botol bekas kepada para pengemudi guna mendapat sekeping uang logam.   

Seketika Alfa merasa pintu hatinya terketuk. Dalam sekejap lelaki itu mengeluarkan lembaran uang kertas berwarna pink dari dalam dompet kulit miliknya. Setelah itu, ia menyikut pelan perut Vero yang masih asik dengan rokoknya. Vero berjengit dari atas tempat duduknya.

"Apa?" tanya Vero kebingungan sambil menatap Alfa.

Tanpa basa-basi, Alfa meletakkan uang tadi ke telapak tangan Vero sembari menggerakkan dagunya. Ia hanya terlalu malas untuk berbicara. Untungnya, Vero mengerti akan kode yang diberikan olehnya.

"Punya mulut tuh dipake," cibir Vero menerima uang dari Alfa. Dengan senyuman mengejek Alfa menjulurkan lidahnya ke hadapan Vero. Sontak Vero membuang wajahnya ke lain arah. Jari telunjuknya menekan tombol otomatis yang berfungsi untuk menurunkan kaca jendela. Memanggil salah satu anak dari kawanan pengamen tersebut.

"Heh, bocah! Sini lo!" undang Vero seraya menggerakkan tangannya.

Alfa yang mendengarnya langsung menepuk dahinya pelan. "Sopan dikit ngomong sama orang lain."

Vero balas mendesis tanpa memperdulikan ucapan Alfa. "Ngaca!"

"Kenapa? Gue emang ganteng. Bahkan, Lee Minho kalah ganteng sama gue," jawab Alfa percaya diri.

Vero mendengus. Sedetik kemudian, ia menyunggingkan senyum paksa. "Iya, maaf. Dek, kesini bentar! Abang mau kasih sesuatu buat kamu."

"Ada apa, Bang?" tanya anak kecil tersebut sembari memegang ukulele usang miliknya serta satu botol plastik bekas untuk menadah uang.

Alfa kembali merasa iba. Seharusnya, anak-anak seperti mereka menghabiskan masa kecilnya dengan bermain dan belajar. Sementara mereka harus mengamen dari pagi hingga malam demi mendapat secercah uang untuk makan sehari-hari.

"Kamu kelas berapa?" Alfa bersuara dengan nada yang terdengar sangat halus.

Tiba-tiba anak itu menundukkan kepalanya rendah. Bahunya nampak bergetar seperti orang yang sedang menahan tangis. Ah, Alfa pasti salah bertanya sehingga membuat hati anak tersebut menjadi terluka.

Alfanzo (Love is a Choice) Where stories live. Discover now