"Kuatkan dirimu! Kamu pasti bisa melakukannya!" Jill Adelaide menepuk pelan kedua pipinya sambil memandang teguh refleksi cantiknya di cermin salah satu toilet perempuan yang berada di Dolby Theatre.
Dia menghabiskan waktu hampir lima jam hanya untuk berdandan dan membungkus dirinya dengan gaun malam karya Inga Bouchard-desainer kenamaan yang setengah memaksa dirinya untuk mengenakan gaun ratusan ribu dollar rancangannya dengan gratis.
Sehari sebelumnya, manajernya Matthew juga telah mendatangkan terapis untuk perawatan SPA demi merontokkan kulit matinya. Padahal kulit aktris itu juga sudah sempurna karena skin care ribuan dolar yang dikenakannya sehari-hari.
Jill bahkan menahan diri untuk tidak duduk sejak baru tiba di Dolby Theatre; untuk menjaga agar gaunnya tidak berkerut atau terlipat. Gadis itu merasa resah kalau mengingat betapa sulitnya dia tadi ketika berusaha masuk dan duduk di mobil sedan porschenya ketika akan menuju lokasi penghargaan Oscar.
Perempuan berambut cokelat itu sudah menerima informasi sejak seminggu yang lalu kalau namanya masuk nominasi sebagai aktris terbaik, dan dia diminta untuk menyiapkan naskah pidato. Dia harus bersiap seandainya saja namanya dipanggil sebagai pemenang.
Jill sadar kalau nominator lain berakting lebih baik ketimbang dirinya. Karena itu dia merasa mungkin dirinya sudah cukup beruntung ketika namanya masuk ke dalam nominasi. Gadis itu merasa aktingnya sebagai istri simpanan seorang Duke bukan akting terbaiknya.
Jill sudah tahu harus bicara apa di panggung, dia sudah menghafalnya. Tapi ketika perempuan itu membayangkannya, dia merasa mual dan gelisah hebat. Apakah dia mengalami demam panggung?
Jill sekali lagi menundukkan kepalanya ke arah wastafel dengan keran terbuka mengalirkan air dingin. Dia berusaha memuntahkan rasa cemasnya, namun tidak ada yang keluar darinya selain beberapa tetes saliva hambar. Jemarinya membasuh bibirnya perlahan menjaga agar makeupnya tidak luntur.
Gadis itu menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya. Kurang dari lima belas menit lagi acara akan dimulai, Jill pamit untuk ke kamar mandi setengah jam yang lalu. Pasti koleganya mulai gelisah menunggu dirinya.
Dia melangkah lemah keluar dari toilet perempuan sampai tidak menyadari kalau hampir menabrak partisi kaca transparan yang berada di hadapannya.
Jill menahan langkahnya agar tidak terjadi benturan, namun tindakannya malah membuat kakinya tertekuk dan terjadilah kesialan kecil pada dirinya.
"Aduh ... " Gadis dengan netra sebening kristal itu mengeluh dalam posisi setengah berjongkok.
"Anda baik-baik saja miss?" Seseorang menyapanya. Jill melihat sebuah tangan terulur di depan matanya. Gadis itu ragu sejenak namun kemungkinan orang itu hanya bersikap gentleman padanya.
Dia menyambut tangan yang tampak kokoh itu untuk menopang tubuhnya. Gadis itu berdiri sambil memastikan kalau gaunnya baik-baik saja. Saat ini penampilan fisiknya adalah prioritas utama ketimbang kesehatannya. Gaun itu dihiasi oleh kristal swarowski, Jill khawatir insiden terpelesetnya barusan mungkin telah merontokkan sebagian aksesoris mewah itu.
"Terima kasih." Ujarnya pelan, kemudian matanya bertemu dengan wajah pria yang menolongnya itu. Jill terdiam, lidahnya seakan beku. Dia mengalami demam panggung lebih awal untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan.
"Maaf, izinkan saya ... ujung gaun anda terlipat." Kata pria itu masih bersikap sopan. Dia berjongkok di hadapan sang aktris kemudian membenahi beberapa bagian gaunnya yang memang sedikit berkerut. Jill merasakan tangan dinginnya tanpa sengaja bersentuhan dengan kulitnya. Sensasi panas serta merta menjalar di tubuhnya.
"Sudah selesai." Ujar pria misterius itu lagi. Gadis itu terpana.
"Nona?" Panggil pria itu lagi, berusaha memanggil kembali nalarnya ke Bumi.
"Ah iya! Terima kasih ... sir ..." Jill yang merasa canggung menyeka rambutnya sampai tanpa sengaja menyenggol anting di telinganya dan membuatnya terjatuh.
"Ah ... umm ... maaf saya pasti sangat ceroboh ..." Ujarnya sedikit terbata sembari membungkuk hendak mengambil antingnya.
"Tidak, biar saya saja yang ambilkan .. anda pasti sangat gugup menghadapi acara hari ini." Pria itu meraih perhiasan yang terjatuh.
Jill sebenarnya sudah tidak paham lagi untuk alasan apa dia merasa gelisah. Nominasi Oscar itu atau pria misterius ini?
"Anda akan terlambat kalau harus kembali ke toilet untuk memakainya ... bolehkah saya ..." Pria itu meminta izin.
"Oh iya tidak apa." Jill menundukkan wajah kemudian menggeser rambutnya ke samping, memperlihatkan lehernya yang jenjang. Pria itu lalu memasangkan anting berlian itu dengan hati-hati. Dia tampak berusaha tidak menyentuh sang aktris, namun tetap saja interaksi itu terasa panas bagi Jill yang tidak berpengalaman.
Jill berpikir, sejak kapan dia menjadi perempuan seperti itu. Dia membiarkan laki-laki asing untuk menyentuh dirinya dengan mudah. Apa hanya kerena dia tampan? Pria berambut hitam itu mungkin mahkluk terindah yang pernah Jill saksikan selama masa hidupnya.
"Sempurna." Kata pria kemudian merasa puas seakan baru saja menciptakan sebuah masterpiece seni.
"Terima kasih." Jill masih menundukkan kepala.
"Semoga acaranya berjalan lancar, kali ini cobalah untuk lebih berhati-hati ketika melangkah menggunakan sepatu semacam itu." Pria itu membicarakan kaki indah sang aktris yang terbungkus sepatu hak tinggi berwarna perak, senada dengan gaunnya yang dicelup warna marun.
"Saya akan mengingatnya." Ujar Jill pelan dengan sedikit tersipu.
"Jill! Apa kau baik-baik saja?" Gadis itu mendengar suara manajernya memanggil dari kejauhan. Laki-laki berbadan tambun itu tampak terengah karena memaksa kakinya untuk menjelajah dari toilet yang satu ke toilet lainnya untuk mencari Jill.
"Ah Matthew, aku baru saja mau kembali ke kursiku." Jill menjelaskan.
Perempuan itu lalu menengok ke arah pria misterius tadi yang kini sudah menghilang.
"Apa ada sesuatu yang tertinggal di kamar mandi?" Matthew bertanya. Menyadari reaksi sang aktris yang tampak seakan kecewa karena baru saja kehilangan sesuatu yang berharga.
***
"Kau dari mana saja? Acaranya sebentar lagi dimulai." Hermes menceramahi.
"Tidak bisakah kalau sekali saja kamu tidak mengguruiku? Aku hanya pergi ke toilet tadi. Aku sudah hampir sepuluh tahun berbaur dengan manusia, kamu tidak perlu khawatir kalau aku melepaskan bom atau wabah penyakit di Bumi." Ares menanggapi sembari duduk kembali ke kursi empuknya.
"Lalu apa maksud seringai di wajahmu itu?" Hermes bertanya curiga.
"Kurasa aku sebaiknya tidak usah menceritakannya padamu." Sahut Ares sambil mengulas senyum di wajah tampannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sky People (TAMAT)
FantasyAres, mantan Dewa Perang dan juga seorang Titan yang berasal dari Planet lain, berkunjung kembali ke Bumi untuk kekasihnya. Namun ternyata mereka bukan satu-satunya Alien yang singgah di Bumi. Konflik antar Alien pun terjadi dan nasib manusia pun me...