•19. Calon Mertua II•

17.1K 2.1K 285
                                    

Genggam tanganku. Kita akan melewati ini semua bersama. -Raden

Kata maaf saja tidak cukup untuk membuat sang mama tidak sedih lagi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kata maaf saja tidak cukup untuk membuat sang mama tidak sedih lagi. Raden merasa bersalah ribuan kali saat Dini malah menyalahkan diri sendiri. Padahal jelas-jelas itu salahnya Raden. Bukan sang mama atau siapa pun.

"Iya, Tante," itu suara Ratih. "Ini bukan salah Tante kok."

Berbeda dengan respons orang tua Ratih. Dini sebagai wakil dari pihak keluarga Raden meminta maaf yang sebesar-besarnya pada Ratih. Bahkan, wanita paruh baya itu sampai ingin berlutut di hadapan Ratih. Tentu saja Ratih tidak mau hal itu terjadi.

"Tante...." Ratih membalas pelukan Dini. "Ini kesalahannya Raden sama Ratih. Bukan salah Tante. Jadi, Tante nggak perlu minta maaf."

Ratih lupa, kapan terakhir kali ia dipeluk oleh sang mama. Ia lupa bagaimana hangat peluk sang ibu karena Adinda selalu menuntutnya ini-itu, tanpa mendampinginya. Beliau sibuk sendiri dengan urusannya. Dan tugas Ratih hanya di rumah untuk belajar terus-menerus, katanya agar sang mama bangga dengan segudang prestasinya itu.

Lalu sekarang?

Saat ia melakukan kesalahan, bukannya dibimbing, diarahkan ke mana langkah selanjutnya- ia malah diusir.

Ratih tahu, ia salah. Sangat salah. Tapi, tak bisakah kedua orang tuanya itu memeluknya barang sejenak saja?

"Raden secepatnya akan menikahi kamu, ya. Kamu jangan khawatir," ujar Dini seraya menguraikan pelukannya dengan Ratih. Ia meraih tangan Raden yang sedari diam saja lalu menautkan dengan jemari lentik milik Ratih.

"Tante," Ratih menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Kata Raden, kita akan menggugurkan kandungan ini dan masalah selesai."

Bola mata Dini melebar secara spontan, begitu pula Raden yang tidak menduga Ratih akan mengatakan hal itu pada sang mama. Itu kan rencana mereka. Tidak untuk diumbar-umbar. Diam-diam saja.

"Apa?!" pekik Dini. "Siapa yang buat keputusan seperti itu?"

"Raden," jawab Ratih dengan tanpa beban.

Dini langsung berbalik, menatap sang putranya dengan tatapan terluka dan penuh kecewa. "Raden, Mama nggak pernah ngajarin kamu lari dari tanggung jawab."

Raden diam.

Mulutnya terkunci. Ia akui, itu keputusan paling bodoh yang pernah terlintas di kepalanya.

Plak!

Dini menampar Raden hingga laki-laki itu tersentak. Menatap sang mama dengan terkejur. Seumur hidup Raden, Dini tidak pernah main tangan. Menamparnya? Ini yang pertama kali. Untuk sekadar mencubit Raden saja, Dini tidak pernah melakukan itu. Sungguh.

"Kamu sudah sadar dengan kelakuan kamu? Apa kamu masih belum sadar?"

Ratih menelan salivanya. Berdiri dengan lutut yang lemas di hadapan ibu dan anak itu.

BersamamuWhere stories live. Discover now