•18. Calon Mertua•

16.8K 2K 188
                                    

Bukan cinta yang melukai hatiku, tapi sikapmu. -Ratih

"Iya, Ma."

Ratih memerhatikan Raden yang tengah mengangkat telepon dari seseorang di seberang sana. Ia yakin, itu pasti panggilan telepon dari sang mama- Raden. Terbukti dari sebutan lembut yang keluar dari bibir Raden. Dan suara laki-laki itu terdengar bergetar, menahan tangis.

"Raden minta maaf. Mama jangan nangis lagi," katanya yang membuat Ratih menelan saliva. Ia menerka-nerka apa yang sedang Raden obrolkan dengan sang mama. "Raden yang salah. Please. Mama jangan kayak gini. Raden aja yang ke sana."

Ratih mengaitkan jari-jemarinya dalam diam. Menunggu Raden selesai mengobrol dengan sang mama. Kata Raden, mereka akan segera berangkat ke Malang. Sebentar lagi. Tiketnya sudah siap. Raden juga sudah membelikan Ratih beberapa baju ganti.

"Oke, Mama hati-hati. Jangan naik taksi. Biar Raden yang jemput kalau udah sampe sini."

Ratih tersenyum tipis. Nada bicara Raden saat ini begitu lembut, manja, dan sangat kekanak-kanakkan di kalimat-kalimat tertentu. Ia baru tahu sisi Raden yang sekarang.

Setelah telepon itu ditutup, Raden menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Ratih tidak mau memulai obrolan karena merasa mood Raden sedang tidak baik. Ia hanya diam saja. Diam. Dan terus diam sampai Raden dahulu yang memulai pembicaraan.

Tanpa mengatakan apa pun, sepuluh menit kemudian Raden bangkit berdiri dengan dua bola mata yang memerah nanar.

Ratih memberanikan diri untuk buka mulut saat Raden sudah bersiap akan pergi. Tubuh laki-laki itu sudah di depan pintu. "Lho, kita nggak jadi ke Malang?" tanya Ratih memastikan. Dari kesimpulannya secara sepihak, Ratih menduga mamanya Raden yang akan ke Jakarta.

"Gak," jawab Raden dengan ketus dan dingin.

"Lo mau ke mana?"

Raden mengabaikan Ratih, ia memakai jaket yang biasa dipakainya itu lalu membuka pintu. Bersiap pergi.

"Raden!" teriak Ratih kesal. Ia selalu kesal dengan Raden karena laki-laki itu sering mengabaikannya. Berbicara dengan Raden memang harus dengan nada tinggi agar didengar olehnya.

"Lo nggak usah banyak tanya. Bukan urusan lo juga," kata Raden masih dengan nada yang sama, ketus. "Rencana gue hancur karena elo."

"Apa, sih, kok elo malah nyalahin gue!" jelas saja Ratih tidak suka saat dirinya menjadi kambing hitam untuk disalah-salahkan. Jelas saja itu kesalahan mereka berdua.

Berdua.

Ingat itu.

"Andai aja lo nggak ngomong tentang kehamilan lo itu ke Nyokap sama Bokap lo.... pasti," ada jeda sebentar, Raden menatap Ratih dengan sengit. "Kita bisa diam-diam ke Malang. Gugurin kandungan itu. Dan masalah selesai."

Napas Ratih menderu cepat. Aliran darahnya mengalir dengan cepat. Ia bangkit berdiri lalu menuding Raden dengan jari telunjuknya. "Lo pikir gue gila apa ngomong langsung ke Nyokap tentang kehamilan gue, hah?! Gue nggak sebodoh itu."

"Alah, ngeles terus."

Di masa itu, mereka akan saling terus menyalahkan satu sama lain. Hal itu merupakan salah satu tanda mereka belum bisa bersikap dewasa dan belum mampu menyelesaikan masalah.

"Nyokap gue tahu sendiri!" jelas Ratih dengan emosi yang berapi-api. "Seharusnya, gue nyalahin elo. Ini semua salah elo. Seandainya lo nggak bawa gue ke kelab, pasti gue nggak akan hamil."

Telak.

Raden langsung diam.

"Diem 'kan lo sekarang, hah!" Ratih kembali duduk di tepi kasur. Air matanya tanpa terasa turun di kedua pipinya.

"Oke, ini salah gue. Puas lo?" Raden menyugar rambutnya dengan frustasi saat mendengar Ratih kembali menangis. Telinga selalu terasa sakit saat mendengar tangis itu. Baru saja Raden mendengar suara isak tangis dari sang mama lalu sekarang giliran ia mendengar tangisan Ratih untuk yang kesekian kali. Ia lelah mendengar kepiluan itu.

Andaikan dua telinganya itu bisa dicopot lalu dipasang lagi, pasti Raden akan melepaskannya untuk sementara waktu.

"Nangis aja terus. Bosen gue dengernya," tukas Raden lalu meninggalkan Ratih di apartemen Alex sendirian.

•••••••••••

Aktivitas Ratih hanya tidur, bangun, mandi lalu makan. Aktivitas itu ia lakukan secara berulang kali selama ada di apartemen Alex. Sesekali, ia akan menangis lagi dan lagi. Dan saat Raden datang, Ratih akan pura-pura baik-baik saja.

Pagi ini, Ratih mendapati Raden tidur di sampingnya. Ratih menggaruk kepalanya dengan bingung.

Apa Raden juga ikut tidak pulang ke rumahnya?

Lalu, selanjutnya mereka mau bagaimana?

Ratih langsung buru-buru mandi karena tidak betah dengan bau badannya sendiri. Ia bisa mandi sebanyak 4 atau 5 kali dalam sehari. Perempuan itu akan mandi setiap kali merasa bau badan dan terlalu banyak berkeringat. Tidak peduli, jika sebelumnya ia sudah mandi.

Ratih meratapi nasibnya. Tidak ada make up. Tidak ada skincare. Ia tidak memakai apa-apa selama beberapa hari ini ada di apartemen Alex. Di dalam kamar mandi hanya ada sabun mandi cair dan pasti gigi. Shampoo saja tidak ada. Ratih ingin keramas, tapi urung. Ia tidak mau meminta uang pada Raden. Ia memilih untuk bungkam saja.

Ratih tidak pernah mengeluh lapar atau minta makan. Raden dengan sigap selalu menyediakan makan dan camilan untuknya di atas meja secara cukup dan tepat waktu.

Keluar dari kamar mandi, Ratih terkejut karena Raden sudah bangun dari tidur. Tumben sekali laki-laki itu bangun pagi.

"Nyokap gue bentar lagi ke sini," kata Raden memberitahu, tanpa Ratih bertanya lebih dulu. "Sekarang, gue mau jemput Nyokap dulu."

"Hm."

"Lo jangan ke mana-mana," katanya lagi, melarang Ratih keluar dari apartemen Alex. "Tetep di sini sampe gue dateng lagi. Jangan ke mana-mana. Inget itu."

Raden menekan kalimat itu sembari memberi tatapan tajam pada Ratih.

"Hm," jawab Ratih sesingkat-singkatnya. Ia sama sekali tak menoleh pada Raden. Perempuan itu sibuk menyisir rambutnya.

Awas aja jawab hm lagi.

"Lo harus baik di depan Nyokap gue nanti," ujar Raden.

"Kenapa? Kalau gue nggak mau gimana?" Ratih merasa, ia tidak suka dikendalikan. Disuruh ini-itu. Ia sangat tidak suka. "Nyokap-Nyokap lo. Bukan Nyokap gue. Ya, lo urus sendiri lah."

Sabar, sabar.

Sekalinya nggak jawab hm, tapi tetep nyebelin.

Raden meredam-redam emosinya sendiri. Masih pagi. Ia tidak mau energi negatif pagi ini menyebar ke dalam tubuhnya. Bisa memengaruhi moodnya hari ini.

Ratih memang sangat menyebalkan. Raden paham itu. Perempuan itu memang hadir di hidupnya untuk menguji kesabarannya. Jadi, Raden harus tahan akan ujiannya dalam menghadapi Ratih.

"Karena dia bakal baik juga sama elo!"

Ratih mengernyitkan keningnya, saat akan memberi protesan tajam lagi pada Raden, laki-laki itu buru-buru pergi. Langkah kakinya cepat keluar dari apartemen Alex sebelum sempat Ratih bersuara.

Raden, hati-hati.

------
A/n: Selalu berikan votes dan komen kalyan, yak.

Follow Instagram @aw.raden @ratih.audiaa @novaasiswanto @novaadhita

Dari seorang perempuan yang lagi mo ke dokter.

Selasa, 07 April 2020

BersamamuWhere stories live. Discover now