•16. Menolak•

18K 2.1K 305
                                    

Aku lelah. Ingin menyerah. -Ratih

Ratih menghabiskan makanannya, sedangkan Raden hanya diam saja. Memerhatikan Ratih makan. Saat makanan perempuan itu sudah habis, Raden menyuruhnya untuk istirahat.

"Lo mau ke mana?"

"Pulang," jawab Raden seraya membersihkan sampah makanan Ratih. Perempuan itu sudah naik ke atas ranjang.

Jujur, Ratih jijik dengan lantai apartemen Alex yang berdebu. Tidak ada penyedot debu di sana. Ratih pun kesal. Ia terbiasa hidup bersih dan serba higienis.

"Terus, nasib gue gimana?" tanya Ratih dengan lirih. Ia menatap perutnya yang masih datar.

"Keputusan yang lo ambil apa, hah?" tanya Raden kembali.

Ratih memainkan jari-jemarinya. Ia bingung. Takut keputusannya nanti berbuah kesalahan lagi.

"Saat-saat yang kek gini, emang nggak bisa diskip dalam hidup kita," ujar Raden. Ia berdiri di hadapan Ratih. Perempuan itu menundukkan kepalanya, menautkan jemarinya satu sama lain. "Harus dijalani. Apa pun yang terjadi. Lewatin aja."

"Gimana ngelewatinnya?!" kesal Ratih.

"Gue juga nggak tahu, Rat. Yang perlu kita lakuin ya cuma jalani aja dulu," ujar Raden tidak kalah kesalnya. "Lo sama sekali nggak nyelesaiin masalah ini. Malah makin nambah beban gue."

"Lo juga yang bikin gue hancur!" balas Ratih dengan nada tinggi. Suaranya serak. Ingin menangis lagi.

"Terserah lo!" Raden melangkahkan kakinya menjauh, ke arah pintu apartemen. Saat mendengar suara Ratih menangis, ia berhenti sejenak.

Laki-laki itu memijat pelipisnya sebentar. Kepalanya pening luar biasa saat memikirkan masalah berat yang menimpa mereka itu.

"Gue mau pulang," rintihan itu lagi yang keluar dari mulut Ratih, membuat Raden mengepalkan tangannya. "Gue nggak bisa tidur di sini."

Karena Ratih selalu terjaga di setiap malamnya, jika tidak tidur di kamarnya. Harus di kamarnya.

Setiap mudik saat libur tahunan, Ratih selalu kurang tidur saat menginap di rumah sanak keluarganya karena merasa kurang nyaman. Ia memang susah tidur.

"Tempatnya kotor. Hiks."

Dari tadi ia bersin-bersin karena debu itu. Dan Raden tahu hal tersebut. "Buat malam ini doang. Besok gue bersihin atau paling nggak gue bisa cari jalan keluar."

Apa salahnya, sih, dicoba dulu? Mejamin mata bentar doang. Dasar cewek manja!

Raden mengusap-usap dadanya, mencoba bersikap sabar dalam menghadapi Ratih. "Lo minta apa biar bisa tidur di sini, hah? Buat malem ini aja."

"Minta pulang."

Emang dasarnya nih cewek nyebelin parah.

"Selain itu!"

"Temenin...."

Raden menatap Ratih lamat-lamat. Perempuan itu masih menangis sesenggukkan. Dua bola matanya menyipit, sembap sekali karena terlalu banyak menangis dan menangis seharian ini.

Menelan saliva, Raden menuruti keinginan Ratih. Ia menata bantal agar Ratih bisa tidur nyenyak. Laki-laki itu duduk di tepi ranjang. Ratih sudah berbaring, keadaanny masih terus menangis.

"Mau sampe kapan lo nangis terus, hah?" Raden mulai geram. Menangis selama satu jam lebih, itu sangat memekakkan telinganya. "Tidur, gih. Biar gue bisa pulang setelah ini."

Ratih menarik selimutnya lebih tinggi lagi agar bisa menutupi bagian dadanya.

Hening.

Mereka berdua saling terdiam.

BersamamuWhere stories live. Discover now