Epilog

42 2 0
                                    

[LARRY]

Dua tahun setelah aku pergi meninggalkan Chicago.

Keadaan ibuku sudah jauh lebih baik. Saat ini, ia masih berlatih untuk bisa berjalan normal. Waktu itu, ia sempat terbaring koma selama satu bulan lebih. Untungnya, Tuhan masih berbaik hati padaku dan membiarkan ibuku untuk kembali sadar dari tidurnya.

Aku belum pernah kembali lagi ke Chicago setelah aku pergi meninggalkan kota itu dua tahun yang lalu. Kami memutuskan untuk menetap di kota ini. Kini aku belajar di sekolah yang berbeda. Aku juga menemukan teman-teman yang baru. Tetapi, tetap saja, tidak ada teman yang jauh lebih menyenangkan dari mereka semua.

Sepulang sekolah, aku bekerja paruh waktu di salah satu restoran cepat saji. Terkadang, ada beberapa gadis yang meminta nomor ponselku, tetapi tidak aku beri karena mereka sama sekali tidak bisa menggantikan posisi Malta di hatiku. Titik! titik! titik!

Kami memang masih sering berbicara lewat Facebook atau WhatsApp, tetapi semakin lama, pesan yang kuterima semakin sedikit. Itu bukan sepenuhnya kesalahan Malta. Akhir-akhir ini, aku memang sangat sibuk. Aku sibuk bekerja dan juga belajar untuk ujian masuk Perguruan Tinggi. Begitu pula dengan Malta dan teman-teman yang lain.

Besok, aku akan mengantar ibuku ke rumah sakit untuk melakukan check-up. Terkadang ia pergi dengan Josh, suaminya yang sekarang. Tetapi, saat Josh sibuk, aku yang mengantarkan ibu ke sana.

Aku memang merasa kesal selama beberapa tahun terhadap ibuku. Ia mungkin banyak melakukan kesalahan di masa lalu. Namun, bagaimanapun, ia masih tetap ibu kandungku. Aku harus bisa memaafkannya. Hari demi hari yang aku lalui bersamanya membuatku tersadar bahwa waktu memang tak bisa kuulangi, tapi setidaknya aku masih bisa memperbaiki hari ini. Aku berpikir bahwa Tuhan sengaja melakukan semua ini agar aku bisa kembali bertemu dengan ibuku.

Di kota ini, aku tetap tinggal bersama ayah. Hanya saja, setiap akhir pekan, aku akan menginap di rumah ibu. Josh juga tidak keberatan.

Saat aku di sana, ibu selalu bercerita jika ia ingin sekali memberikanku seorang adik perempuan agar aku bisa memiliki saudara. Ibuku bilang, aku selalu ingin memiliki seorang adik perempuan ketika aku kecil. Aku bahkan sempat menangis tersedu-sedu setelah seorang anak perempuan yang bermain denganku di taman bermain pulang ke rumahnya. Aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri hanya dalam beberapa jam saja.

"Larry!" Seru ayah.

"Ada apa?" Sahutku.

"Sepertinya, aku lupa mengambil koran baru hari ini. Bisa tolong kau ambilkan untukku?"

"Di zaman seperti ini, kelihatannya hanya Ayah saja yang membaca berita di koran."

"Tolong jangan berdebat denganku pagi ini!"

"Baiklah...baiklah..."

Aku berjalan menuju pintu depan. Sebelum aku sempat membukanya, seseorang menekan bel rumahku.

Sejenak aku berpikir, "Siapa yang berkunjung ke rumah sepagi ini?"

Tanpa ragu, aku membuka pintu lebar-lebar dan melihat seseorang yang aku tunggu selama ini berdiri di hadapanku.

Aku tidak bisa mengatakan apapun. Aku hanya bisa diam, memperhatikannya dari atas hingga ke bawah.

"Dua tahun kita tidak bertemu. Akhirnya kau datang kemari!" Kataku dengan gembira.

Malta tersenyum padaku, "Bukan hanya aku saja yang datang! Lihatlah!"

Ketika Malta bergeser ke pinggir, aku melihat kedua temanku yang lain berdiri di sana sambil membawa sebuah kue ulang tahun.

AMBISIUS : My Brother's Enemy [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang