Rumah Berhantu

48 1 0
                                    

[MALTA]

Aku tak bisa berhenti tersenyum setiap kali mengingat waktu yang kami habiskan sore kemarin. Sebelum aku meninggalkan cafe, Austin memberikanku sebuah hadiah. Hari itu bukanlah hari ulang tahunku. Selain itu, aku juga tidak pernah meminta apapun darinya. Oleh sebab itu, aku cukup terkejut ketika ia dengan tiba-tiba memberikanku hadiah, beberapa menit sebelum taxi datang. Ia memintaku untuk tidak membukanya sampai aku tiba di rumah.

Pagi ini, aku berjalan di sepanjang koridor dengan penuh keceriaan. Mengayun-ayunkan lenganku ke atas dan ke bawah. Berkhayal tentang betapa indahnya hidup ini, betapa beruntungnya diriku, juga betapa berharganya waktu yang aku lalui bersamanya.

Tanpa sadar, aku menabrak seseorang di depanku yang tengah mengambil beberapa buah buku dari dalam lokernya.

"Oh, maaf! Aku tidak sengaja," kataku memohon.

Beberapa bukunya terjatuh ke lantai. Aku membantunya mengambil buku-buku itu. Namun, saat ku memberikan buku-buku itu kembali padanya, aku cukup terkejut setelah mendapati bahwa orang yang ku tabrak beberapa menit yang lalu memiliki wajah yang sangat familiar dan juga sangat mengesalkan secara bersamaan.

"Larry?!" Ucapku spontan.

Ia menatapku untuk beberapa saat tanpa mengatakan satu patah katapun.

Tentu saja, terakhir kali kami berbicara, itu bukanlah pembicaraan yang hangat dan menyenangkan. Tidak pantas untuk dikenang sama sekali. Aku bahkan tidak tahu harus merespons seperti apa. Orang bilang, pertengkaran sesama teman memang biasa terjadi. Dalam beberapa kejadian, itu pasti akan berakhir dengan sendirinya. Tapi, hingga saat ini, aku masih belum yakin, bagaimana caranya mengakhiri pertengkaran ini. Pertengkaran yang bahkan ia mulai sendiri.

Ia hanya diam mematung. Mulutnya sama sekali tak bergerak seakan-akan ia memang terlahir tanpa suara. Namun jelas, matanya terus tertuju kepada sebuah kalung yang tergantung di leherku.

Larry menyentuh kalung itu, tanpa meminta izin dariku. Ia mengamatinya dengan teliti. Lalu menatap wajahku dengan matanya yang sendu.

"Aku tidak pernah melihatmu memakai kalung ini sebelumnya." Dalam seketika ia kembali mendapatkan suaranya.

"Lalu apa urusannya? Apa kau ingin mengambil kalung ini?" Tanyaku sedikit menuduh.

"Tidak. Tentu saja tidak."

"Kalau begitu lepaskan tangamu!"

Ia melepaskan tangannya dari kalungku.

"Dari Austin bukan?" Tanyanya, berusaha menyelidik. Tapi aku tahu, dalam hatinya ia yakin bahwa ia dengan sangat jelas mengetahui jawabannya.

"Bukan urusanmu! Kau tidak perlu tahu!"

Memang benar, kalung ini adalah kalung pemberian Austin yang ia berikan kepadaku kemarin. Beberapa menit sebelum aku pergi dari cafe.

Aku ingat, sesampainya di rumah dengan segera aku memasuki kamarku. Tanpa memedulikan apapun, aku beranjak ke atas kasur seperti anak kecil. Kemudian, membuka sebuah kotak mungil berwarna merah.

Saat itu, aku merasa begitu gugup. Rasanya seperti membuka sebuah kotak berisi cincin lamaran yang kemudian akan terpasang dengan elok di jari manisku.

Jangan tertawa! Aku memang banyak berkhayal. Jika seseorang sedang jatuh cinta, terkadang bayangan seperti itu akan terus muncul sepanjang waktu.

Aku membuka kotak itu secara perlahan, dengan penuh hati-hati. Tentu saja isinya bukanlah seperti yang aku bayangkan. Tetapi, bukan berarti aku merasa kecewa. Justru aku merasa sangat senang. Senang bukan main. Seperti, ketika seorang anak kecil mendapatkan sepotong kue di hari ulang tahunnya. Namun yang aku dapatkan saat itu bukanlah kue, melainkan sebuah kalung berukir bintang. Ia bilang, tertulis dalam surat yang ia simpan bersama dengan kalung tersebut, jika aku melihat ukiran bintang itu, itu berarti dia sedang mengingatku.

AMBISIUS : My Brother's Enemy [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang