•00. Bersamamu•

65.4K 3.1K 269
                                    

Bersamamu; ialah kehancuran yang nyata. Reruntuhan dari mimpi dan harapan yang rasanya tak bisa lagi kugenggam.

Kita ini apa? tanyaku kala itu. Kamu menjawab, "jalani saja dulu."

Namun, semakin kita menjalani hubungan ini, aku jadi semakin tahu bahwa sebenarnya; kita tak pernah punya tujuan yang sama.

Memaksakan genggaman tangan kita sama saja dengan menikam pisau tepat di jantungku sendiri.

I know the love inside you is not me, but what do I do?

I know the love inside you is not me, but what do I do?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••••••••••

"Mama sama Papa mau ke mana?" tanya Ratih seraya mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia menatap kedua orang tuanya yang sudah berpakaian rapi itu.

"Mau keluar," jawab Adinda diselingi gerutuan karena tak kunjung menemukan sepatu hak tinggi yang biasa ia pakai. Adinda mengomel, memanggil para asisten rumah tangga dan menanyakan di mana letak sepatu tersebut.

"Mau keluar ke mana, Pa?" kini Ratih ganti bertanya pada sang papa- Rudi.

"Kamu lupa besok hari apa, huh?" Rudi mengangkat dagunya ke arah kalender yang ada di atas meja. "Tanggal 18 Maret, hari ulang tahun Mas Riyan."

"Kan, masih besok ulang tahunnya," ucap Ratih sambil senyum-senyum malu. Ia juga sudah menyiapkan kado ulang tahun spesial untuk sang kakak tersayang. Besok!

Ratih sungguh tidak sabar menantikan moment itu.

"Ya, tapi Papa sama Mama mau ngasih kejutan malem ini," ujar Rudi sambil merapikan jas yang dipakainya. "Ma, udah siap? Yuk!"

"Hah? Maksudnya...." Ratih berdiri, instingnya mengatakan untuk terus mengikuti langkah kaki kedua orang tuanya itu sampai ke teras rumah.

Tak pernah menyangka, ternyata papa dan mamanya itu ingin memberi kejutan kakaknya langsung, tanpa mengajak dirinya. Riyan sendiri sedang ada tugas di luar kota. Jadwalnya padat dan tidak bisa menyempatkan diri untuk pulang.

"Ma, Pa," rengek Ratih di depan pintu mobil kedua orang tuanya itu dengan wajah pelas. "Ratih pengin ikut ngasih kejutan Mas Riyan."

"Mending kamu di rumah aja," ujar Adinda sambil memeriksa isi tasnya. Ia takut, jika ada suatu barang yang kelupaan.

"Belajar yang pinter," timpal Rudi. "Bukannya kamu habis ini ujian 'kan? Awas aja kalau sampai nilai kamu jelek lagi."

Kata 'jelek lagi' itu sepertinya sangat tidak menghargai jerih payah Ratih dalam belajar selama ini. Kedua orang tuanya itu tidak pernah memujinya, sedikit pun. Selalu menekan dirinya untuk menjadi yang pertama.

"Harus masuk ke perguruan tinggi negeri," ujar Adinda mengingatkan Ratih dengan tatapan tak bersahabatnya pada sang putri. "Kamu ini sekolah udah hampir 12 tahun, masak nggak pernah dapet peringkat pertama, sih. Selalu jadi yang kedua. Nggak bosen apa?"

BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang