29. Decision

682 81 1
                                    

Wanita itu mengembuskan napasnya sebelum melanjutkan langkah kakinya secara perlahan memasuki gedung tinggi sebuah perusahaan. Apa yang sedang dia lakukan saat ini merupakan bukti kegilaannya beberapa hari  lalu, ketika dirinya memutuskan sebuah pilihan sulit menyangkut masa depan dan keberlangsungan hidupnya.

Pikirannya kembali berkelana pada saat pria itu memberikan sebuah pilihan yang lebih pantas disebut sebagai penawaran tak terbantahkan.

Bahkan di detik ke sepuluh setelah Renesya menandatangani perjanjian tersebut, tanpa dia sangka-sangka seseorang yang tidak Renesya kenal mengantarkan seluruh barang-barang yang di milikinya ke penthouse Marcus

Dengan tidak acuh Marcus hanya berujar santai menanggapi keterkejutan Renesya.

"Aku yakin kau pasti akan menyetujuinya, karena itulah aku sudah menyuruh orang untuk membawa barang-barangmu kemari, ternyata tidak banyak barang yang kau miliki." ujarnya dengan nada meremehkan. Membuat Renesya berdecih, Dengan terpaksa Renesya segera membereskan barang-barang berharganya yang masih tergeletak di ruang tamu, sedangkan Marcus dengan senang hati langsung menunjukan kamar mana yang akan Renesya tempati selama dia tinggal disana. Tentu saja hal itu membuat Renesya sedikit lega karena dirinya tidak harus berada di kamar yang sama dengan Marcus.

Salah satu hal yang memicu kekesalan Renesya pada Marcus dan dengan impulsif menyetujui keinginan pria itu tentu saja karena Marcus dengan tak tahu diri merebut benda paling berharga miliknya. Refleks jemari Renesya menyentuhkan jemari ke sekitar lehernya, terasa begitu hampa tatkala dirinya menyadari benda berharga tersebut tidak ada pada dirinya, kalung itu merupakan satu-satunya yang dia miliki dan entah kenapa dia merasa harus terus menjaga kalung tersebut sebaik mungkin. Sayangnya kalung itu sekarang berada di tangan Marcus. Renesya bersumpah akan merebut kembali dari Marcus, tidak perduli dengan cara baik - baik maupun paksaan , itulah mengapa dirinya harus menahan diri sesabar mungkin untuk terus berada di sekitar Marcua demi mendapatkan kembali kalung berharga miliknya.

Sebenarnya butuh keberanian besar bagi Reneaya untuk memutuskan ini semua, dan tentu saja dirinya memiliki banyak pertimbangan menyangkut kemungkinan apa saja yang akan terjadi. Dengan berat hati Renesya terpaksa menyetujui perjanjian tersebut dengan harapan terpendam bahwa setelah semua ini berakhir dia akan terbebas dari hutang financial yang melilitnya pada pria itu, dan yang terpenting dia bisa kembali menekuni pekerjaan yang sangat disukainya, setidaknya ada secuil hal baik yang dapat dia dapatkan, yach meskipun dirinya harus merelakan hidup bebasnya berada di bawah pengawasan pria sialan itu.

Meskipun kembali bekerja di perusahaan menjadi keinginan terbesarnya, tetap saja Renesya harus mengumpulkan seluruh nyalinya untuk bisa kembali berbaur dengan rekan-rekan sekantornya. Renesya masih belum siap jika harus dihadapkan pada bermacam-macam pertanyaan dari orang-orang yang dikenalnya mengenai segala hal yang telah dia lalui, hingga membuatnya dapat kembali bekerja seperti semula. Bahan gosip apapun akan dengan mudahnya menyebar secepat kilat dari mulut ke mulut, dan Renesya bergidik ngeri membayangkan dirinya menjadi bahan omongan setiap orang di kantornya.

Sedikit terasa aneh ketika Marcus selalu meyakinkan dirinya bahwa tidak akan ada satu orang pun yang berani menanyakan segala hal yang menyangkut tentang pekerjaan yang akan dilakukannya kembali, memangnya siapa Marcus? Atasannya saja bukan, pemilik perusahaan tempatnya bekerja juga bukan. Tapi dengan angkuhnya pria itu berlagak seolah bisa mengatur seluruh perputaran hidupnya dan selalu menekankan apa saja yang harus dan tidak boleh dia lakukan. Oke! ini benar-benar menyebalkan. Dan semua itu merupakan resiko dari perjanjian yang telah dia setujui.

Demi mensugesti dirinya agar tidak selalu termakan emosi, Renesya selalu menyakinkan diri bahwa Marcus
hanyalah mucikari sialan yang jelas lebih beruntung karena memiliki banyak uang dan bisa melakukan apapun, bisa saja pria itu melakukan sesuatu menggunakan uangnya untuk membungkam semua mulut orang-orang di kantornya agar tidak menggosipkan apapun tentan kembalinya dia ke kantor tersebut. Oh! pemikiran itu sungguh berlebihan Renesya, untuk apa Marcus repot-repot melakukannya. Bukankah itu sama saja dengan Marcus menambah hutang financial yang dia memiliki, aarrggg benar- benar memusingkan.

Dirinya harus lebih berhati-hati dan tetap menjaga jarak aman dari pria itu, bukan tidak mungkin Marcus memiliki rencana terselubung, mungkin seperti menjual dirinya, jika seandainya nanti novel yang dia lahirkan tidak sukses di pasaran, membuatnya tidak sanggup mengembalikan hutang yang dia miliki.. Tidak!.. tidak hal mengerikan itu tidak boleh menjadi kenyataan. Karena itulah dirinya harus selalu waspada pada kemungkinan segala hal.

Setelah tiga hari berlalu, dan semua kemelut mengenai perjanjian maupun rencana kembali bekerja di kantor akhirnya berakhir pada hari ini.

Hari dimana saat dirinya memberanikan diri melangkahkan kakinya penuh percaya diri dan melemparkan senyum pada rekan-rekan kantornya yang baru saja tiba di kantor sama sepertinya.

"Reeenesyaaaa!!"

Suara pekikan keras dari arah belakang menyadarkan lamunan Renesya yang saat ini sedang menunggu pintu lift di depannya terbuka.

Renesya menolehkan kepalanya , dan mendapati Grace berjalan cepat menghampirinya dengan senyum terkembang menghiasi sudut sudut bibir gadis itu. Jika boleh jujur untuk kesekian kalinya Grace telah membuatnya kecewa, kemana perginya sesorang yang mengaku sebagai sahabat ketika dirinya sangat membutuhkan kehadirannya, Grace menghilang seolah tertelan bumi tepat ketika dia sangat membutuhkan bantuannya, Padahal saat itu hanyalah Grace satu-satunya orang yang bisa Renesya andalkan, namun Renesya juga tidak pernah lupa selama dia berada di dalam penjara Grace -lah orang yang selalu membantunya, mungkin memang ada alasan tertentu kenapa Grace tidak bisa dia hubungi saat itu.

Lagipula semua sudah berlalu, Renesya tidak ingin lagi memikirkan itu semua. Renesya juga tidak sampai hati untuk membenci Grace, bagaimanapun juga Grace merupakan satu-satunya sahabat terdekatnya, mungkin Renesya hanya sedikit merasa kecewa, dan dia bukanlah tipe orang yang mudah meluapkan kekesalannya secara langsung, mungkin efek dri rasa kesal tersebut hanya akan membuatnya lebih irit bicara .

"Haai!! Aku senang sekali melihatmu kembali." Grace sudah berdiri di sampingnya, Renesya membalas sapaan Grace dengan senyuman tipis.

Pintu lift di depan mereka akhirnya terbuka, Renesya melangkahkan kakinya lebih dulu memasuki lift lalu Grace mengikutinya dari belakang.

Di dalam lift tidak ada yang bersuara, membuat suasana sedetik terasa canggung, namun Grace buru-buru membuka suara untuk memecah keheningan.

"Kau berhutang banyak penjelasan padaku."

"Bukankah seharusnya itu kalimatku."

Grace menyengir lebar. "Tentu saja aku akan menjelaskan apapun yang ingin kau dengar Nesya dear." ujar Grace dengan wajah berbinar, dalam hati gadis itu berharap Renesya mengerti akan posisinya.

Chieva
23 Desember 2021

Amor Impredecible - [ On Going ]Where stories live. Discover now