A SECRET EXIT [73] (Part 4)

2.7K 540 72
                                    

Aku melongo menatap Mama. Ekspresinya tidak sedang bercanda.

Aku baru saja sadar bahwa aku kehilangan jam surealis, dan...?

Aku memejamkan mata dan menampar wajahku sekeras mungkin. Lalu aku membuka mata. Masih di meja makan dengan Mama. Tidak, bukan mimpi.

"Apa—Mama—?"

"Kita mulai saja dari awal—ya, Mama juga pernah punya jam surealis. Dan ya, Mama sudah kehilangan kemampuan itu sejak lama. Menurutmu kenapa Mama mengajukan pada papamu untuk menamaimu Dali?"

Aku kembali menatap Mama dengan takjub selama sedetik sebelum kata-kata Mama tercerna di otakku. Benar juga. Keluargaku bukan orang-orang surealis dan bukan pengamat seni sureal, walaupun aku tahu mereka memang suka karya Salvador Dali.

"Papamu tahu soal ini, walaupun awalnya dia tidak percaya. Tapi begitu kau mulai menggambarkan jam surealis, Mama tahu Mama menang. Tapi Mama harus yakin dulu, karena itulah Mama tetap memeriksakanmu ke psikiater waktu itu. Ternyata benar—kau bisa mengindera jam itu."

Mama berhenti sejenak. Tiba-tiba perutku merasa kenyang. "Jadi ... obat-obatan waktu itu...?"

"Mama tahu kau sudah berhenti mengambilnya. Tidak apa-apa. Pasti semuanya jadi tambah parah, 'kan?"

Aku mengangguk. Mama tetap menatapku dan tidak bicara selama beberapa detik lagi. Mendadak aku teringat kata Albert di pelabuhan—Mamamu sudah mengerti.

Dia mengatakan itu persis setelah kami membicarakan tentang orang-orang lain yang bisa melihat jam surealis.

Astaga, kenapa aku bodoh sekali? "Apa mama Mama juga punya kemampuan ini?"

"Setahu Mama? Tidak, Mama yang pertama punya. Kenapa bisa begitu, Mama juga tidak paham. Tapi Mama tahu ada orang lain yang punya kekuatan yang sama—Mama cuma tidak tahu siapa."

Mama berhenti sejenak. Tatapan matanya melembut.

"Karena itulah Mama percaya padamu tentang jam surealis, Dali. Mama mengalaminya sendiri dulu. Dan Mama sangat panik saat Mama pertama sadar bahwa kemampuan itu hilang."

Aku menghela napas. "Kenapa bisa hilang?"

"Saat Mama bilang Mama tahu persis perasaanmu, Mama memang tahu persis perasaanmu." Ia tersenyum kecut. "Anggap saja, Mama mengalami yang serupa denganmu dan Albert."

Jantungku mencelus. "Lalu—"

"Ya, dia juga menghilang pada akhirnya. Ya, Mama juga patah hati luar biasa."

Aku menatap Mama. Mendadak aku kembali teringat kata-kata Mama dan Albert. "Tapi jika Mama tahu begitu, kenapa Mama tetap menyuruh kami berkenalan?"

Tiba-tiba semua kagetku hilang. Sirna. Musnah. Begitu pemahaman mendarat padaku—tidak, menabrakku—dan semakin banyak benang yang terbuka dari ikatannya, aku malah tidak merasa tercerahkan. Aku marah. Aku kecewa. Aku merasa dikhianati dua kali—dan secara teknis aku benar.

Mama cuma menatapku sedih. Aku tidak tinggal diam. "Mama sudah tahu bahwa dia akan datang. Mama tahu nama aslinya. Mama sudah tahu akhirnya akan begini, Mama—"

"Tunggu, Dali," kata Mama sambil mengangkat satu tangannya. "Mama tidak tahu akhirnya akan begini lagi. Mama cuma tahu bahwa kau harus berkenalan dengannya."

"Dan kenapa itu?" tanyaku, nadaku meninggi. "Kenapa aku harus berkenalan dengannya? Apa Mama pribadi tidak menyesal dulu berkenalan dengan Albert Mama?"

"Tidak," kata Mama cepat. "Karena itu keharusan!"

"Kenapa harus, Ma?"

"Seberapa banyak yang dijelaskannya padamu?" tanya Mama tanpa jeda. "Tentang kebenaran, tentang dirimu sendiri, tentang jam surealis. Seberapa banyak?"

LapseWhere stories live. Discover now