A SECRET EXIT [73] (Part 3)

1.8K 449 27
                                    

Aku sudah teryakinkan bahwa Mama adalah manusia ajaib karena ternyata Mama mendengarku. Jam pulang sekolahku memang biasanya tidak terlalu jauh dari jam surealis, jadi sementara aku sesenggukan sendiri, aku benar-benar berharap Mama tidak akan memilih saat itu untuk masuk kamar.

"Dali?" panggilnya pelan dari luar kamar. "Dali, kau tidak apa-apa?"

"Agu tidag ab—ab—" aku bahkan tidak bisa menyelesaikan kalimatku sendiri. Mama mendengar itu dan akhirnya nekat masuk tanpa meminta izin.

"Maaf," katanya singkat. Lalu dia melihatku berantakan dan matanya membelalak kaget sesaat. "Astaga."

Mama tidak bertanya lebih jauh dan langsung mendekatiku. Aku awalnya berusaha mengusirnya, tapi malah tersedak sendiri dan tidak bisa berkata-kata. Tubuhku terlalu lemas untuk melawan. Mama memelukku.

Aku tidak bergerak. Tapi akhirnya aku balik memeluknya.

Mama tidak mengatakan apa pun lagi setelahnya dan tetap memelukku. Aku mengeluarkan segalanya, tidak menahan lagi tangisku. Napasku mulai terasa sesak. Aku tidak peduli. Mungkin aku membasahi pakaian Mama. Membuatnya jadi lusuh karena aku mencengkeram terlalu kuat, karena tanganku terasa begitu tegang. Terlalu banyak yang ingin kulampiaskan di saat bersamaan, dan aku nyaris tidak menahan diri dari menangis menggerung-gerung.

Mamaku cuma mengelusku dengan tenang, membawa jemarinya melintasi rambutku dengan sangat sabar. Aku terus menangis ke dalam pelukannya, seperti yang mungkin kulakukan lima belas tahun yang lalu. Aku lupa cara bernapas. Kepalaku terasa pusing. Buku-buku jariku rasanya mati rasa, dan telapak tanganku kesemutan. Ketika raungan tangisku akhirnya mereda menjadi sesenggukan, Mama masih tidak berkata-kata.

Jika dipikir lagi, aku sangat bersyukur Mama seperti itu. Aku juga tidak yakin akan kuat berkata-kata saat itu. Mataku mulai terasa berat dan lengket. Mama mengecup ubun-ubunku sekali, dan saat aku akhirnya tenang, mengelus kepalaku untuk terakhir kali sebelum membaringkanku di kasur. Aku langsung jatuh tertidur.

Aku baru bangun saat jam menunjukkan pukul tujuh. Aku meraba diri—aku masih mengenakan baju yang kupakai ke sekolah dan langsung beranjak bangun dengan panik.

Tunggu. Kamarku gelap. Lampu di luar menyala.

Jam tujuh malam, bukan pagi. Aku menghela napas dan kembali menjatuhkan diriku ke kasur.

Malam. Ini belum esok hari. Atau sudah? Ah. Kelibat pikiran lagi. Aku memutuskan untuk bangun dan akhirnya berganti baju. Wajahku masih mati rasa bekas menangis tadi ... dan perutku mulai berkeruyuk. Aku langsung meninggalkan kamar seusai ganti baju.

Di bawah, Mama sudah siap dengan makaroni favoritku dan segelas jus semangka dingin. Mama tahu aku sangat suka dua menu itu. Mama tidak bertanya apa-apa tentang yang tadi, tapi aku tahu ia terpikir soal itu. Aku cuma mengangguk berterima kasih sambil mulai makan dengan lesu.

Hari-hariku berikutnya mulai jatuh ke pola yang sama dengan yang telah kutinggalkan. Berangkat. Sekolah. Makan. Sekolah. Pulang. Berdiam diri di kamar. Kecuali untuk satu perbedaan—aku tetap mengikuti saran darinya untuk tidur selama jam surealis. Bangun. Makan malam. PR dan tugas. Tidur. Bangun lagi. Ulangi.

Tentu, sesekali mood-ku naik. Saat aku mendapatkan nilai tertinggi di ujian matematika, misalnya. Atau saat aku bisa menjelaskan hereditas dengan sempurna. Ah, itu juga berkat dia. Dia menjelaskan tentang itu di kencan pertama kami.

Namun lebih sering daripada tidak, hidupku datar. Aku telah menemukan pola baru. Aku masih sering memeriksa ponselku, separo-berharap bahwa mungkin ada semacam keajaiban yang lalu membiarkan SMS-nya muncul, atau ada notifikasi bahwa dia mengirimiku chat lagi. Tapi tidak. Ponselku tetap kosong seperti sediakala. Perlahan, aku belajar untuk tidak terlalu kecewa melihatnya.

LapseWhere stories live. Discover now