BLESSED DISORDER [64]

5K 717 76
                                    

Halo, ini Dali lagi.

Aku mau melanjutkan lagi suratku kemarin. Kalau tidak salah aku sudah sampai pada soal jam surealisku...? Ya, sepertinya sampai sana. Berarti sebentar lagi aku akan masuk ke soal Albert.

Tapi aku ingin bercerita dulu sedikit soal kenapa jam surealisku ini begitu merepotkan. Aku tahu aku banyak menggunakan kata itu, tapi aku tidak tahu kata lain yang lebih tepat selain 'merepotkan' untuk menggambarkan jam surealisku.

Sebenarnya, di satu cara, jam surealis ini sangat baik padaku, karena segala yang diekspos kepadaku jadi berbentuk paling dasar—sebuah kebenaran yang murni, tanpa ada yang ditutup-tutupi.

Ah, aku jadi ingat. Dulu, seseorang pernah mencoba mengajakku mencontek untuk ujian di esok harinya, tetapi secara diam-diam. Garis bawahi kata mencoba. Saat itu kalau tidak salah aku masih berumur delapan tahun. Yah, belum cukup tua, memang, tapi cukup untuk tahu apa itu jujur. Kalau tidak salah, yang waktu itu menghampiriku adalah Forer. Aku tidak yakin, berhubung saat itu aku sedang berada dalam jam surealisku. Aku nyaris tidak bisa membedakan satu orang dengan orang lain saat dalam jam itu.

Jadi waktu itu Forer—kita anggap saja benar bahwa yang waktu itu adalah Forer—datang menghampiriku saat aku sedang asyik mencorat-coret buku tulisku di kelas.

"Dali," katanya, "aku mau bicara."

Aku cuma mendongak ke arahnya. Yang kulihat tidak bisa dikatakan manusia, secara harfiah: aku melihat seekor buaya berdiri mengenakan pakaian trendy yang tampak compang-camping. Kaos biru dan semacamnya, semuanya berantakan. Dari dadanya, sebuah laci bergetar keras. Aku ingat mengira bahwa laci itu berisi jantung, karena saat itu aku sudah pernah melihat skema tubuh manusia. "Ya?"

"Kau harus membantuku waktu ujian nanti dasar licik aku perlu bantuanmu," kata si Buaya-Yang-Mungkin-Saja-Forer. Aku mengangkat alis.

"Bukannya itu namanya mencontek?" tanyaku. Si Buaya tampak kaget, dan laci di dadanya menjeblak terbuka: kertas-kertas kosong beterbangan dari dalam situ.

"Apa maksudmu aku tidak mengerti aku memang ingin mencontek tapi kenapa kau menjawab begitu kau sama sekali tidak menjawab pertanyaanku," katanya tanpa dijeda. Aku menelengkan kepala.

"Mencontek itu salah nanti kulaporkan ke Ibu Guru lho," kataku dengan sama tanpa dijedanya. Mata Si Buaya melebar. Kulitnya berubah warna menjadi cokelat terang, secokelat meja kelas, seakan dia berusaha bersembunyi menjadi meja.

"Dasar sial aku butuh mencontek jawabanmu kenapa kau begitu pelit bagaimana kau bisa tahu aku mau mencontek aku kesal padamu awas saja nanti kalau kau sampai melapor pada Ibu Guru," kata Forer, masih tanpa dijeda. Lalu dia berbalik dan pergi, dan aku baru sadar bahwa ekornya bukan ekor buaya, tetapi ekor keledai. Aku mengangkat bahu.

"Terserah."

Lalu aku kembali mencorat-coret buku catatanku.

Aku belajar dua hal hari itu: pertama, aku payah dalam menggambar. Sangat. Tidak akan ada yang bisa menyangkal itu, bahkan orang yang sangat terbuka soal seni sekalipun—omong-omong, ini memang pernah terjadi. Aku tahu persis semua orang akan bilang gambarku payah, dan aku tidak akan menyangkal itu. Aku sendiri merasa begitu. Seperti yang kubilang, namaku memang ironis.

Lalu yang kedua, aku belajar menyadari bahwa ternyata beberapa hal mengenai jam surealis memang berbeda dari jam-jam pada umumnya. Oke, banyak hal. Tetapi saat itu aku masih menganggap bahwa semuanya wajar, jadi aku tidak banyak memikirkan soal perbedaan-perbedaan yang sudah jelas.

Bagaimanapun juga, cara bicara makhluk-makhluk surealis itu—atau tepatnya orang-orang yang kulihat saat sedang jam surealis—benar-benar khas. Mereka berbicara seakan tanpa ada filter. Tanda baca pun seperti tidak ada, kecuali jika mereka memang bermaksud bertanya. Aku tidak bisa mendengar apa kata mereka aslinya, tetapi aku bisa mendengar niat mereka langsung—wujud alam bawah sadar mereka.

LapseWhere stories live. Discover now