A REAL MADMAN [64]

3.1K 599 26
                                    

Sepertinya aku agak terburu-buru. Aku lupa bertanya tentang satu hal: bagaimana cowok ini tahu bahwa aku bisa melihat bocah golf dan stik mininya?

Mungkin itu satu dari beberapa hal yang melewati kepalaku sekaligus. Aku agak payah dalam hal memperhatikan hanya satu hal saja. Tidak bisa. Itu mustahil. Aku harus terus-menerus menemukan sesuatu untuk diperhatikan, karena jika tidak, aku bisa jadi gila karena bosan.

Dan cowok ini baru saja memberiku banyak sekali hal untuk diperhatikan. Jadi akhirnya aku berganti pose dan menopang dagu.

Aku ingat jelas aku sedang menopang dagu, karena setelah itu, si cowok ini terkekeh. "Banyak hal untuk dipikirkan, ya?"

Aku cuma bisa merengut. Sepertinya dia menganggap itu sebagai iya dan tertawa.

"Oke," lanjutnya cuek. "Salam kenal ... atau, paling tidak, salam kenal setengah jam lagi. Namaku...."

Dia berhenti. Aku akhirnya tidak bisa menahan diriku sendiri dan menoleh ke arahnya. "Siapa?"

Dia berbicara lagi—tapi tidak ada suara yang keluar. Aku mengernyit. "Hah?"

Dia mengerutkan dahi. "Astaga. Aku baru sadar. Jangan bilang...."

Dia kembali berusaha mengatakan hal yang sama, tapi suaranya tetap tidak muncul. Dia tampak benar-benar terpukul. "Hei, kau kenapa?"

Ekspresinya masih tetap keras, tapi ternyata dia cukup bersyukur aku akhirnya mau berbicara langsung dengannya. "Tidak apa-apa. Untuk sementara ini, panggil saja aku Albert."

Kali ini giliranku mengerutkan dahi. "Untuk sementara ini?"

"Ya."

"Maksudmu, kau akan memberitahuku nama aslimu setelah jam ini usai?"

"Aku harap bisa semudah itu. Jam ini membukakan semua kebenaran. Jika jam ini tidak mengizinkan namaku untuk didengar, mungkin ada baiknya jika kita menunggu dulu."

"Kautahu," kataku, "aku masih tidak yakin kau ini sungguhan."

Albert mengangguk. "Dan memang sepantasnya begitu."

"Belum lagi, kaubisa menemukanku."

"Betul."

"Dan kita tidak saling kenal sama sekali."

Albert memberiku tatapan aneh sebelum menelan ludah sekali dan mengangguk. "Ya."

"Lalu kau ...," aku melihat lagi ke luar. Bocah golf dan stik mininya sudah tidak ada. Sekarang malah ada sebuah terompet terbang di luar sana. Ya ampun. Mereka tidak akan berhenti menggangguku. "Kau juga bisa melihat mereka."

"Ya, aku bisa."

"Semua ini terlalu ganjil."

"Memang," katanya kalem. "Kauturun di perhentian berikutnya, omong-omong."

Aku ternganga sebentar. "Dari mana kautahu?"

Dia mengangkat bahu. "Sudah tugasku."

Tugas. Oke, dunia, kerja bagus. Teruskan saja. Seakan hidupku masih belum cukup tidak masuk akal. "Oke. Trims sudah mengingatkanku."

"Sama-sama."

Aku diam setelah itu. Dia juga diam. Tidak ada pembicaraan sama sekali hingga ada bunyi puf pintu hidrolik bus dibuka, dan aku segera berdiri dan turun. Ternyata—tidak mengejutkannya—dia mengikutiku.

"Kau masih belum puas menggangguku, ya?" kataku sebal sambil mulai berjalan kaki. Dia berjalan santai di sebelahku.

"Belum," katanya. "Sebenarnya, aku masih berniat berkenalan denganmu setelah jam ini lewat."

LapseWhere stories live. Discover now