LE SURRÉALISME, C'EST MOI. [71]

2.8K 472 27
                                    

Hai aku harus agak terburu-buru menulis yang ini karena aku baru sempat menulis dan sebentar lagi jam 2 tapi Mama bilang akan ada acara sekitar jam 3 dan aku tidak yakin akan sempat menulis lagi setelah itu.

Hebat, aku bahkan bingung mau mulai dari mana. Coba kita lihat dulu. Nyanyian kentut, sudah. Berkenalan dengan ... Albert, sudah. Chat pertama, sudah. Kedai susu sepertinya sudah juga, 'kan?

Berarti kejadian pelabuhan. Sebelum aku mulai bercerita tentang kejadiannya, sepertinya aku harus bilang dulu bahwa Mama sangat senang saat tahu aku bertemu dengan Albert di kedai susu hanya untuk mengobrol. Aku tidak pernah cerita padanya bahwa aku juga lumayan senang, tentu, karena itu terlalu memalukan untuk diakui; di sisi lain, toh sepertinya Mama juga sudah tahu. Entah bagaimana. Mungkin naluri keibuan yang disebutnya dulu itu.

Yang membawaku ke ... seminggu sebelum Nightfest. Hampir dua minggu yang lalu. Begitu Albert mengantarku pulang dari kedai susu waktu itu—dan yeah, mengobrol sebentar dengan Mama—dan berpamitan, aku cuma mengangguk padanya sambil berkata dadah. Bagaimana tidak? Kami diam sepanjang jalan pulang. Dan dia bijak melakukan itu—kepalaku masih memutar berbagai kemungkinan, menjawab pertanyaan-pertanyaan lain yang belum dilontarkannya padaku di kedai susu. Jadi waktu dia pulang, aku tidak merasa berutang apa-apa.

Tapi toh, setelah beberapa menit, ternyata aku malah mendapati diriku mengirimkan SMS duluan. "Sudah sampai rumah?"

Balasannya tidak segera masuk. Aku jadi mengetukkan kaki dengan gelisah ke lantai kamarku—aku yakin sepertinya cukup keras untuk bisa terdengar sampai kamar Mama di bawah—dan bergerak mondar-mandir kamar sambil memutar-mutar ponselku di tangan. Begitu ponselku akhirnya bergetar, semua gerakanku berhenti dan fokusku tersita ke layarnya—Sudah.

Aku menghela napas dan akhirnya berbaring ke kasurku dan beralih aplikasi ke chatroom. "Oke. Baguslah. Selamat sore."

Dia tidak langsung membalas lagi. Wah, sopan. Selamat sore.

Aku mengernyit. "Apa maksudnya?"

Tidak menyangka kau tipe formal begitu.

"Sama."

Belum mengenal dirimu, eh?

"Sial, ini juga gara-gara kau."

Aku tahu dia sedang tertawa di ujung sana. Kukira kaubilang kau sudah kenal.

"Kaukira."

Hmm. Benar juga.

Aku tidak membalas lagi dan meletakkan ponselku ke sisi bantal. Hari itu sedang tidak ada tugas dan tidak ada PR, dan berhubung jam surealis sudah lewat, tidak banyak hal yang masih harus kukerjakan. Tapi lalu ponselku bergetar lagi.

Apa jadwalmu kosong Sabtu nanti?

"Tidak, Papa ada acara dan mengajakku."

Sabtu depannya?

"Kurang-lebih. Sepertinya. Kenapa?"

Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu. Apa kau boleh keluar malam?

"Tidak yakin. Aku baru lima belas, tahu."

Tahu, kok. Berarti aku akan harus meminta izin dulu.

Aku menggigit bibir. "Tunggu, apa maksudmu?"

Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.

"Iya, paham. Kenapa harus malam?"

Karena cuma bisa dilihat saat malam.

Aku mengernyit. Itu sudah jelas. "Kenapa memaksakan?"

LapseWhere stories live. Discover now