TAKE ME, I AM THE DRUG [70]

2.8K 528 70
                                    

Hai, aku baru sempat menulis lagi. Sebut aku gila, tapi aku baru saja kembali dari jalan-jalan ke Nightfest dengan—ah, dengan Albert.

Eh. Tunggu. Aku memang gila. Maksudku—sebentar, aku bingung harus mulai dari mana.

Astaga, aku bahkan sudah lupa surat terakhirku tentang apa. Apa aku sudah cerita soal kejadian pelabuhan? Sepertinya belum. Maaf.

Aku akan ke sana, tenang. Jadi begini. Kalau tidak salah aku terakhir menulis tentang berkenalan dengan Albert, bukan? Yah, jika ternyata itu sudah lewat, anggap saja mulai dari sana. Albert ke rumahku, berkenalan denganku, yada-yada-yada. Ya ampun, itu rasanya sudah lama sekali. Padahal jika dipikir-pikir, sepertinya baru beberapa hari. Atau minggu? Apa malah sudah bulan? Aku juga tidak yakin. Aku kehilangan hitungan dan selalu benci menghitung yang begini.

Eh, tidak benci juga, sih. Malah biasanya ini sudah jadi keharusan, berhubung jam surealis.

Oke, aku sudah mulai memutar-mutar, jadi kurasa aku mulai saja...? Oke.

Jadi Albert berkenalan denganku. Saat itu aku sangat sebal dengan mamaku. Untuk pertama kalinya, aku mempertanyakan dasar kesetiaanku padanya. Ya, aku tahu, bahasanya sangat melankolis, tapi apa lagi yang bisa kauharapkan dari seseorang yang dikecewakan? Bahkan setelah Albert pulang, aku memakan masakan Mama dalam diam. Tetap enak seperti biasanya, tapi aku juga tetap kesal. Apa yang Mama harapkan, sih?

Sekali itu saja, aku berharap Mama bisa punya kemampuan melihat alam bawah sadarku dan merasakan sendiri betapa kesalnya aku. Aku tidak yakin pernah sesebal itu. Untungnya, Mama sepertinya cukup peka untuk tahu bahwa aku memang sedang marah dan tidak mengajakku bicara seharian itu.

Sore itu, Albert mengirimiku SMS lagi. Kaupunya ID untuk chat?

Aku menimbang ponselku di tangan. Demi Mama. Persetan. Tapi itu untuk Mama. Tapi orang ini menyebalkan. Tapi dia juga punya jam surealis. Tapi dia tukang paksa. Tapi Mama yang memaksanya. Tapi dia terlalu cuek. Tapi Mama percaya padanya. Lagi pula, jika dia cuek, untuk apa dia meminta mengobrol daring denganku?

"Punya," ketikku berat. Aku mengiriminya ID-ku, dan tidak lama kemudian, dia langsung menyapaku.

Menariknya, username-nya adalah salvador.

"Whoa," ketikku. "Menarik."

Apa?

"Username-mu."

Hahah. Tentu. Untung aku berkenalan dengan pelengkapnya, 'kan?

"Gombal."

Aku masih merengut pada layar ponselku dan berpikir apakah memberinya ID-ku dari awal adalah keputusan yang bijak. Tapi yang dikirimkannya berikutnya—sejujurnya—mengejutkanku, bahkan sampai sekarang.

Dali.

"Ya?"

Aku mau bertanya.

"Kau selalu bertanya."

Memang. Satu lagi tidak bakal menyakitkan.

Aku mengangkat bahu, entah kepada siapa, sebelum mengetik lagi. "Terserah."

Apa kaukenal dirimu sendiri?

Aku mengernyit. "Tentu saja."

Benarkah? Menarik.

"Jadi kau tidak mengenal dirimu sendiri?"

Jeda sesaat. Lalu notifikasi obrolan masuk. Tidak.

LapseWhere stories live. Discover now