A SECRET EXIT [73] (Part 2)

2.3K 479 46
                                    

Aku mengerjap mendengarnya.

Kesimpulannya sama denganku.

"T-tapi ...," mendadak aku kehilangan semua kemampuan berkata-kata. "Albert ... apa-apaan?"

"Hmm?"

"B-bagaimana bisa?" tanyaku. "Maksudku—hei, aku manusia, kau juga manusia. Manusia tidak begitu saja menjadi kebenaran untuk manusia lain."

"Aku sudah bilang ini akan terdengar gila, 'kan?"

"Memang, tapi—"

Aku kehabisan kata-kata. Albert sepertinya kasihan padaku atau semacamnya. "Ini buktiku," katanya lembut. "Sampai ada bukti yang menyatakan sebaliknya, ini kita anggap benar. Kecuali ada penjelasan yang lebih bagus. Bagaimana?"

Aku tercekat sebentar. "Aku ingin melempar wajahmu dengan argumen soal bukti negatif."

Albert tertawa. "Nah, itu baru Dali yang kukenal."

"Tapi ... tapi...." Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kukatakan. Semua ini terlalu ... apa? Tidak masuk akal. "Tapi ... Albert, entahlah. Aku tahu jam surealis memang aneh, dan kita tidak akan bisa menemukan penjelasan yang mudah, dan aku juga tahu interaksi surealis kita tidak normal. Tapi ... tidakkah menurutmu ini terlalu ... entahlah, up to eleven?"

Albert pernah memperkenalkan istilah itu kepadaku. Up to eleven menggambarkan sesuatu yang diangkat melewati batas maksimalnya—biasanya dalam bahasan maksimal kewajaran. Istilah itu, katanya, diambil dari tombol volume di speaker gitar listrik yang angkanya mencapai sebelas, satu tingkat di atas sepuluh. Beberapa perusahaan speaker menangkap istilah ini dan melucu dengan membuat speaker yang punya tombol volume sampai level dua belas.

Dan Albert mengangguk. "Aku setuju denganmu. Ini memang sangat kuangkat up to eleven dalam soal keanehan. Tapi semua ini sangat ... ah. Nanti kau akan paham kenapa, kok."

Aku mengernyit. Itu persis kata-kata Mama waktu menyuruhku berkenalan dengan Albert. "Kata Mamaku juga begitu."

Albert memberiku tatapan sedih. "Mamamu sudah mengerti."

"Hah?"

"Ah," katanya. "Nanti ... nanti. Akan ada waktunya. Semua akan masuk akal nanti. Oke?"

Aku cemberut. "Kautahu? Pembuktianmu malah memberiku lebih banyak pertanyaan daripada jawaban."

"Bagus," katanya sambil tertawa kecil. "Berarti otakmu sudah siap berpikir."

"Hei, apa maksudmu?"

Dia akhirnya tertawa lepas dan mengacak-acak rambutku. "Aku menikmati waktuku bersamamu, tahu tidak?"

Aku melipat tanganku di depan dada dan merungut. "Dua minggu berkenalan dengan seorang gadis aneh dan kau sudah bilang bahwa gadis itu kebenaranmu saat mengajaknya jalan ke pinggir kanal yang sepi di Sabtu malam. Kau seram, tahu."

Ekspresinya tidak banyak berubah, tapi aku bisa melihat sesuatu amblas di balik matanya. Apa aku barusan menyakitinya?

"Belum lagi, kau malah membuatku penasaran setengah mati," lanjutku lagi sebelum bisa menahan diri. "Kau—dan pertanyaan-pertanyaanmu! Pikiran-pikiran gilamu!"

Aku akhirnya berhenti melipat lengan dan mengepalkan kedua tanganku. Senyum Albert mulai memudar.

"Kau—kau—" aku menghela napas. Lagi. Lagi. Dan lagi. Lalu aku menelan ludah. "Aku bingung kenapa aku juga menikmati waktuku bersamamu."

Aku tidak tahu dari mana datangnya. Aku tidak tahu apa dorongannya. Aku tidak tahu kenapa aku melakukannya. Aku masih tidak tahu sampai sekarang. Yang pasti, hal berikutnya yang aku tahu, kedua tanganku masih tetap terkepal—tapi kedua lenganku melilit Albert. Sementara itu, aku menenggelamkan wajahku ke lehernya.

LapseTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon