Daniel (a)

2.7K 145 1
                                    

Papa dan Mama mendampratku dengan sumpah serapah mereka tanpa ampun ketika aku pulang ke rumah. Kejadian memalukan itu sudah benar-benar mencoreng nama keluargaku.

Well, aku dalam keadaan setengah sadar, oke?!

Dan melihat Nana sedang berdiri bersama seorang pria lainnya membuatku kebakaran jenggot.

Cemburu, huh? Jangan tanyakan itu dulu.

Mengusap wajahku dengan kasar, aku mendesah panjang. Masalah seperti datang beruntun kepadaku. Belum lagi dengan wanita satu ini, wanita yang berada di sisi lain ranjangku. Nadine.

"Beibh, apa kamu baik-baik saja?"

Aku dapat merasakan jemari halus Nadine bergerak lembut mengitari punggungku yang telanjang. Lalu mendekapku dari belakang. Nafasnya menghembus halus di leherku.

"Aku dapat memuaskanmu, sayang. Kamu ingin, hum?"

"No, thanks." Ini jelas bukan penolakanku yang pertama kali. Bahkan sejak Nadine memaksa untuk tinggal bersamaku di apartement ini, aku sudah menolaknya puluhan kali.

Tanpa sedikitpun merubah posisiku, duduk di tepian ranjang dengan kepala terbenam di kedua telapak tanganku, aku kembali memilih diam.

"Kamu kelihatan gak baik-baik saja." Nadine menggigit cuping telingaku kecil, sembari mendesah, mengeluarkan suara seksinya.

Tapi seolah jengah, aku melepaskan rangkulannya dan berjalan meninggalkannya.

"Daniel ! Daniel ! " Nadine menjerit-jerit kesal karena kuabaikan, dan suaranya menghilang begitu saja saat aku sudah kembali menutup pintu kamarku dan meninggalkannya di dalam.

Akupun melangkah menuju kamar tamu, menutupnya lalu menguncinya. Kenapa gak terfikirkan untuk tidur di sini dari kemarin? Dasar dungu!

Ya Tuhan, bahkan entah sejak kapan, mengumpat diri sendiri sudah menjadi kebiasaanku. Mungkin lebih kepada karena diriku ini sudah sangat mengecewakan.

Kedatangan Nadine dengan perutnya membuncit, membuatku merasa hancur lebur dan frustasi.

Jika saja aku gak pernah bertemu dengan Angelina, mungkin aku mau-mau saja menerima kedatangan Nadine dengan tangan terbuka.

Meskipun aku tidak secara terang-terangan menunjukkan kepedulianku pada Nana, tapi entah bagaimana, aku merasa perlu untuk berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya, dan..

Dan semuanya hancur berantakan karena ulah tololku !!

Aku membuka gorden kamarku, menatapi langit malam tanpa bintang. Aku memutuskan untuk keluar ke balkon, menikmati angin malam. Dan nyatanya ini menyenangkan.

Kupejamkan mataku sembari bersandar pada dinding balkon.

Ingatan tentang Nana yang tersenyum malu-malu pada pria itu benar-benar menyulut emosiku. Bahkan Nana gak pernah tersenyum tulus padaku. Apa aku terlalu menyebalkan baginya?

Apa dia gak lihat, bagaimana aku menahan hasratku untuk gak pernah nyentuh kulit halusnya?

Apa dia gak lihat, bagaimana aku menatapnya dalam diam?

Apa dia gak bisa menilai sesuatu apapun yang baik untukku?

Nggak tidur semalaman membuat kepalaku terasa pening. Setelah menyeduh segelas kopi, aku memutuskan untuk membersihkan diriku dan pergi menemui keluarga Nana. Meminta maaf, mungkin .. ?

Nadine duduk di atas kursi ruang makan, menatapku dengan dahi berkerut, "Mau ke mana?"

"Ada urusan." Balasku sembari melangkah pergi meninggalkannya begitu saja.

"Kapan kamu mau nikahin aku, Daniel? Kamu lihat, perut aku tiap harinya makin membesar."

Aku menghentikan langkahku, menghela nafasku dengan gusar lalu menatapnya, "Lahirkan anak itu dulu. Kita tes DNA. Aku gak yakin dia anakku." Aku sendiri dapat mendengar nada dingin dari suaraku.

Nadine menutup mulutnya dengan wajah terkejut, "Kamu nuduh aku selingkuh?"

"Aku cuma gak percaya itu anakku." Gumamku pelan, "Kita terlalu sibuk tiga bulan belakangan saat masih di Amrik, dan dalam tiga bulan itu aku cuma nyentuh kamu satu kali. Itupun aku ingat masih pakai pengaman."

"Daniel .. " Suaranya tercekat, aku tahu itu. Tapi memang seperti itu kenyataan yang sebenarnya.

Tiga bulan terakhir di Amric, kami terlalu sering menghabiskan waktu dengan banyak bertengkar. Dan hal seperti itu membuat hubungan kami renggang.

Dan tiba-tiba Nadine hamil ?

Aku melirik perut Nadine yang mulai membuncit. Usianya menginjak bulan ke-4. Aku menatapnya dengan mata meredup lelah.

"Kita tunggu lima bulan lagi." Kataku lagi, "Aku pergi."

"Daniel!" Nadine menarik lenganku, memintaku kembali menghentikan langkahku. "Lihat aku, Daniel.. Lihat aku, please.."

"Apa lagi?" Tanyaku bosan.

Ia balas menatap mataku. Aku dapat melihat air matanya yang sudah menggenang di pelupuk matanya.

"Kamu .. "

Sejenak hening saat ia membelai wajahku dengan jemarinya.

"Kamu gak mungkin sudah gak cinta aku kan, Dan ? "

Aku menggenggam jemarinya yang sejak tadi membelai wajahku, lalu melepaskannya tepat di samping tubuhnya. "Aku gak tahu, Nad."

Setelahnya, aku kembali berbalik untuk meninggalkannya.

"Ini anak kamu, Daniel! Daniel! Jangan pergi! Daniel!"

Dan terlambat. Aku sudah berjalan di lorong dan saat pintu lift terbuka, aku masuk ke dalamnya sembari memijit pelipisku.

==>>

Tentang DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang