Nana & Keluarga (d)

3.2K 217 4
                                    

Nana menatap Ibunya sekali lagi, "Makasih, Mah.." ujarnya sebelum beranjak meninggalkan Ibunya yang berdiri mematung.

Pandangannya buram oleh air mata, dan kepalanya sakit memikirkan cara agar putri sulungnya itu mau menuruti permintaannya.

Ia melangkah limbung mendekati ranjangnya. Bertumpu pada sisi ranjang agar tak terjatuh, perlahan air mata itu tak mampu dibendungnya lagi.

Nana melangkah meninggalkan kamar Ibunya dan mendapati Lissa ada di sana.

Bersandar pada dinding samping pintu kamar Ibunya.

Kepalanya tertunduk.

Nana mengabaikannya dan lalu melangkah begitu saja melewatinya.

"Apa sih sebenarnya masalahmu dengan permintaan orang tuamu?"

Nana menghentikan langkahnya, berbalik dan menemukan Lissa masih di tempat semula. Dan kali ini menatap Nana dengan kesedihan yang tersirat.

"Kalian tidak mengerti.." Ujar Nana dengan nafas tersengal.

Dadanya sesak. Ia ingin segera berada di dalam kamarnya dan menumpahkan air matanya.

"Lalu kau anggap apa diam kami selama dua tahun ini? Kurang apa kami dengan menghargai kepercayaanmu itu? Kami sudah memberi kebebasan kepadamu, bukan? Dan kami hanya meminta sekali ini dan kau kembali mengecewakan kami!"

Nana tersenyum sinis, "Kebebesan, katamu?" Ia mengusap air matanya yang tak mau berhenti membasahi wajahnya, "Kalian memusuhiku! Mengabaikanku! Menganggap aku tidak ada di tempat yang sama dengan kalian! Dan kau anggap itu karena kau - kalian- menghargai kepercayaanku?!"

"Dengar, Lissa.. Jika kalian menghargai kepercayaanku saat ini, kalian tidak akan memaksa mengubah prinsipku dalam berbusana.

Dan kalian jika memberikanku kebebasan dengan pilihanku, seharusnya kalian tidak memusuhiku!"

Nana melangkah mundur, "Kalian tidak pernah mau mengerti!" tandasnya kemudian lalu berbalik dan berlari meninggalkan Lissa yang hanya mampu terdiam.

Lissa jatuh terduduk di sana. Menatap punggung Nana yang kini telah menghilang.

Memeluk lututnya dan menyembunyikan wajahnya, Lissa menangis tanpa suara.

Ia mendengar dengan pilu isak tangis Ibunya di dalam kamarnya.

Keluarganya...

Keluarganya kini hancur berantakkan.

--- *** ---

Ayah Nana tiba di rumah begitu Nana menyelesaikan shalat Maghribnya.

Nana mendesah pasrah.

Berdoa kepada Allah agar tidak terjadi keributan lagi.

Ia telah sangat lelah menghadapi Ibu dan adiknya yang sore tadi menekannya untuk menggunakan gaun itu.

Dan kini Ayahnya datang.

Entah keributan seperti apa yang akan kembali terjadi.

Bukan hal tidak mungkin jika Ayahnya akan kembali mengusirnya.

Dan Nana akan sekuat tenaga untuk tetap bertahan di rumah ini.

Hingga ia datang.. Menjemputnya..

Nana tersenyum miris, 'Tapi kapan?'

Hatinya selalu menanyakan pertanyaan yang sama sejak lama.

Nana mendesah lega saat adzan shalat Isya berkumandang dan di luar sana tidak terjadi keributan apapun.

Setelah menyelesaikan shalat Isyanya, Lissa datang mengetuk pintu kamarnya. Meminta Nana agar segera ke meja makan untuk makan malam dan menjamu tamu mereka.

Nana sudah siap dengan gamis dan jilbab lebar yang menutupi lekuk tubuhnya.

Ia pun memberanikan diri untuk muncul di hadapan kedua orang tuanya dan Pendeta Robert.

Ia ingat, Pendeta Robert adalah pendeta yang sama dengan Pendeta yang mengajarkan al-Kitab di gereja tempatnya dahulu menghabiskan separuh hari minggunya.

Istri pendeta Robert menyapa Nana terlebih dahulu.

Meskipun ada keterkejutan di sorot matanya, tapi wanita paruh baya itu berhasil menutupinya.

Nana duduk di sisi Lissa. Tepat di seberangnya, duduk seorang pria yang mungkin usianya tidak jauh darinya.

Dan ada seorang anak lelaki yang usianya sekitar 14 tahun duduk di seberang Lissa.

Mungkin adik dari pria itu. Pikir Nana kemudian.

Kedua orang tuanya lagi-lagi menganggap Nana seolah tidak berada di sana.

Bahkan ketika Nana muncul, dengan sangat terang-terangan Ayahnya itu memalingkan wajahnya.

Seusai acara makan malam itu, dilanjutkan dengan obrolan-obrolan ringan.

Mereka tertawa, entah menertawakan apa. Nana menutup telinganya, tidak ingin mendengar obrolan apapun.

Toh ia sendiri tidak mengambil bagian dalam obrolan itu.

Bahkan Lissa pun turut tertawa.

"Jadi Angelina kuliah di mana?" Pendeta Robert bertanya pada Nana dan menatapnya lembut.

Ruangan mendadak hening. Dan entah mengapa, Nana merasa gugup.

Ia melirik Ayahnya yang kembali memalingkan wajahnya.

Lalu kembali menatap Pendeta Robert dengan tersenyum kaku, dan kemudian menyebutkan salah satu nama universitas swasta yang pada asalnya adalah cabang dari universitas di Riyadh - Saudi Arabia.

Meskipun kembali terkejut, Pendeta Robert berusaha nampak setenang mungkin.

Ia tahu sedikit tentang Nana yang bermasalah dengan kepercayaannya saat ini, dari kedua orang tuanya yang beberapa minggu lalu datang ke rumahnya untuk dapat memberikan pencerahan kembali pada Nana. Agar Nana kembali seperti dahulu.

Dan dengan penuh kasih, Pendeta itu menyetujui untuk membantu.

Tentang DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang