Memeluk Rindu (d)

2.8K 213 8
                                    

Nana menatap layar komputernya, mengklik pada sebuah folder yang sudah sangat lama tersimpan di sana. Bahkan nyaris tak pernah tersentuh.

Selama ini ketika Nana hendak membukanya, ia selalu merasa ragu.

Namun kini, ia ingin, ia butuh..

Sebuah photo mencuri perhatian Nana. Seorang anak lelaki kecil tengah memeluk bahu gadis kecil sembari mengedipkan matanya ke arah kamera.

Photo berikutnya adalah gadis yang sama namun sudah menginjak usia remajanya, 15 tahun. Dan anak lelaki yang sama pulang yang sedang berada di sisinya sembari memakaikannya topi berwarna merah hati. Bertuliskan 'Best Friend'.

Nana menghela nafasnya, menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Menatap langit-langit kamarnya.

Ia kembali mengingat, saat di mana Fakhri memberikan topi berwana merah hati kepadanya, memaksa dirinya untuk mau memakai topi dengan warna yang paling tidak disukainya, merah hati.

Lelaki itu memaksa, dengan tatapan mata memohon.

Nana ingat, ketika ia, meskipun cemberut, terpaksa memakai topi pemberian Fakhri. Dan saat Ibu Fakhri memotretnya, Nana masih dalam keadaan cemberut sedangkan Fakhri tertawa renyah. Merasa puas telah berhasil membujuk Nana.

"Nah, Angel cantik kalau pakai ini!" Seru Fakhri senang.

"Kak Fakhri kan tahu Angel nggak suka warna merah!"

"Eits! Kali ini harus suka! Itu hadiah dari Kakak, buat Angel kecil Kakak yang manja!" Fakhri mengacak rambut Nana dengan sayang.

Nana selalu merasa begitu dekat dengan Fakhri. Fakhri adalah seorang Kakak baginya.

Dan ketika usia sudah tak lagi remaja, mereka seolah saling memberi jarak. Nana merasa tak lagi mampu dekat dengan Fakhri. Sikapnya meskipun masih penuh senyum, namun cenderung lebih pendiam. Di saat-saat terakhir mereka bertetangga, Nana masih sering bercerita tentang segala hal yang dilaluinya sepanjang hari pada Fakhri. Pun demikian, tanggapan Fakhri tak pernah sama seperti dahulu.

Nana merindukan saat-saat di mana ia dapat begitu dekat dengan lelaki yang perlahan namun pasti telah membuatnya terkagum-kagum dan berakhir pada hatinya yang penuh harap akan dirinya.

Nana meringis, merasa begitu pedih sekaligus bodoh pada saat yang bersamaan.

Tidak seharusnya ia menyimpan harapan pada lelaki yang tak pernah memastikan apapun.

Menghembuskn nafasnya dengan gusar, Nana menutup folder itu dengan dada yang sesak karena rindu.

Rindu yang dengan segera harus dihapusnya.

"Kak Nana.."

Nana membalik tubuhnya demi dapat melihat adiknya, Lissa, yang tengah berdiri pada pintu kamarnya.

"Ya?"

"Keluarga Kak Daniel sudah datang." Kata Lissa dengan ragu. Sejak kemarin ia sedih melihat Kakak perempuannya yang seperti mayat hidup. Di rumahpun ia tak lagi bicara pada siapapun. Sepulang dari kampus, Lissa hanya akan melihat Kakaknya terus mengurung dirinya di kamar. Wajahnya semakin pucat, tentu saja. Apakah ini bentuk protes akan kelakuan Papanya?Atau Kakaknya itu sama sekali sudah tak memiliki gairah.

"Kakak ditunggu di ruang keluarga." Lanjut Lissa kemudian.

Nana tersenyum tipis, dan lalu mengangguk patuh, "Terima kasih."

--

Nana menatap pintu kamarnya yang kini telah kembali tertutup. Dan beralih menatap bayangannya di cermin. Orang tuanya tentu saja telah membelikan sebuah gaun terbaik untuk acara pertunangan sederhana yang akan dilaksanakan malam ini, tapi ia kembali memilih gamisnya berwarna biru gelap dan jilbab lebar berwarna senada sepanjang lutut untuk digunakannya malam ini.

Menghela nafasnya, Nana beralih pada sebuah gaun yang terbungkus rapi di atas ranjangnya.

Tercenung sesaat, seandainya gaun seindah itu digunakan di hadapan suaminya tentu itu adalah hal yang menggembirakan.

Dan Daniel, bukan suaminya. Belum.

Nana kembali nyaris meneteskan air matanya saat teringat bahwa calon suaminya adalah Daniel.

Lelaki playboy dan peminum khomr.

Pernah sekali waktu saat mereka makan malam, Daniel memesan sebotol minuman beralkohol. Saat Nana menegurnya, Daniel hanya menyahutinya acuh, "Di Amrik yang kayak gini udah biasa. Minuman sehari-hari."

Dan di lain waktu, saat Nana selesai menggunakan toilet di sebuah restoran tempat mereka makan malam, di lorong sempit, arah menuju toilet, Nana melihat Daniel sedang bercumbu dengan seorang gadis yang terlihat begitu sexy.

Bahkan Lelaki itu hanya meliriknya sekilas, dan tak sungkan melanjutkan aksinya.

Setelah kembali ke meja makan, lelaki itu dengan polosnya berkata, "Sori! Cewek tadi hot banget, aku nggak bisa nahan."

Mendengarnya saja Nana sudah merah padam, dan lelaki itu dengan santainya dapat melanjutkan makan malamnya tanpa dosa.

Nana memasuki ruang keluarga dengan wajah tertunduk. Rasanya ia ingin lari dari tempat ini segera. Mengejar sosok yang dirindunya..

Dan Nana kembali tersadar, sosok yang dirindunya belum tentu menginginkannya.

Jadi mungkin jauh lebih baik begini...

# Hai..!!

Ceritaku ini mungkin terkesan lebay n gak menarik.

Tapi, utk yg sudh menyempatkan waktunya utk membaca ini cerita, diminta utk TOLONG meninggalkan kritik & saran.

Seenggaknya, biar penulis tau bagian mana yg perlu diprbaiki.

TQ

Tentang DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang