Diselimuti Kegelapan (b)

3.2K 206 2
                                    

Aku menatap kedua orang tuaku yang kembali tertunduk.

Tak ada yang mau bicara. Tak ada yang mau menjelaskan apapun padaku.

Aku menghembuskan nafasku yang terasa begitu menyesakkan.

Berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

Dan hanya kembali mendapati dadaku sesak.

Aku meringis. Mengusap air mataku yang entah mengapa mudah sekali keluar.

Beralih menatap punggung Daniel yang menjauh.

Aku akan mendapatkan penjelassan dari pria itu. Dan bukan dari kedua orang tuaku.

Tante Joice menatapku sembari tersenyum, senyum yang dipaksakan.

Dan seolah sudah terbiasa menghadapi orang sepertiku, Pendeta Robert menatapku sembari tersenyum lembut, memaklumi.

Dengan enggan, aku mengikuti Daniel..

Tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Penjelasan macam apa yang menanti untuk kupahami?

Daniel berdiri membelakangiku.

"Ada apa ini?" tanyaku segera, setelah memiliki jarak cukup dekat dengannya.

Ia berbalik menatapku, "Kita telah dijodohkan!" Ia menekan kata terakhirnya dengan seringaian yang menyebalkan.

"Aku nggak mau!"

"Kamu nggak punya pilihan!"

"Apa maksudmu?!"

Ia menatapku intens dan aku mencoba untuk mengalihkan pandanganku.

"Dengar, Angelina.. Pilihannya hanya dua, menikah denganku, atau kau akan diusir oleh kedua orang tuamu."

Aku tersenyum sinis padanya, "Kau yang dengar! Aku tidak akan menikah denganmu, sekalipun pilihannya adalah aku akan dibunuh oleh kedua orang tuaku."

Dia berbalik kembali memunggungiku.

"Aku tidak mengerti denganmu," Suaranya berbisik, pelan, namun masih mampu untuk kudengarkan.

"Kau telah memiliki keluarga yang sempurna, Yesus mengasihi kalian, dan kau menghancurkan segalanya. Apa yang sebenarnya ada dalam kepala cantikmu itu?"

"Itu bukan urusanmu!" Tegasku kemudian.

Ia berbalik menatapku, menyeringai mengerikan, "Kau calon istriku! Dan kini kau menjadi urusanku!"

Aku mundur selangkah.

Dahulu aku tahu ia pribadi yang menyenangkan saat ia tengah tertawa bersama teman-temannya.

Dan saat ini aku meragukannya.

Ia memiliki sinar mata yang kejam. Mengerikan.

Ada sesuatu yang brutal pada dirinya yang sejak tadi berhasil ditutupinya.

Aku meringis.

Aku tidak sedang berhadapan dengan pria berbahaya kan?

Mendadak aku merasakan ketakutan saat menatap mata coklatnya.

"Kau tidak akan menyesal dengan menyetujui perjodohan ini.." Daniel mendekatiku dengan langkahnya yang lambat.

Aku seolah dibuatnya mematung ketakutan.

Detik berikutnya, wajahnya sudah berada dengan jarak begitu dekat dengan wajahku.

Aku menutup mataku.

Entah apa yang terjadi denganku.

Aku menggenggam tanganku yang berkeringat karena gugup.

"Aku akan sangat mampu memberimu kepuasan, Angelina.."

Suaranya berbisik menggoda di dekat telingaku.

Aku membuka mataku dalam sepersekian detik. Menatapnya penuh kebencian.

Detik berikutnya telapak tanganku sudah mendarat di wajahnya.

Aku sempat melihatnya tersenyum licik sebelum aku berlari meninggalkannya menuju kamarku.

---***---

Aku mengurung diriku di kamar, tidak memperdulikan mereka yang kembali berbincang di ruang tengah.

Lissa mendatangi kamarku ssaat acara sudah benar-benar selesai.

Ia duduk di meja riasku.

Menatapku dengan tatapan tak terbaca.

Aku tak mengacuhkannya.

"Kau tak bisa menolaknya, Kak.." Kalimatnya membuatku mengalihkan pandanganku. Menatapnya geram.

"Aku tak membutuhkanmu untuk memberiku ceramah, Lissa!"

Ia tersenyum lemah dan beranjak dari duduknya, "Terserah saja, sih.." Ujarnya sembari menghentikan langkahnya saat hendak mendapai daun pintu.

"Asal kau tahu saja, Kak.. Papa serius kali ini. Ia tidak ingin mendengar penolakan darimu. Semoga kali ini kau mau menyenangkan hatinya dan menghapus kebenciannya akan dirimu."

"Kau tidak diberikan pilihan. Maafkan aku tidak mampu membantumu."

--- *** ---

Kau tahu kan?

Dunia tidak hanya tentang hitam dan putih.

Ada banyak warna yang menghiasinya.

Dan aku kini berada dalam kegelapan. Hitam pekat.

"Kurang tidur yah, Na?" Tantri menatapku dengan senyumannya yang begitu menyejukkan.

Aku berusaha tersenyum menenangkannya.

Sahabatku ini begitu terlalu mengkhawatirkanku.

"Gimana persiapanmu, Tan?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan sebelum Aniqo datang dan akan menceramahiku tentang tidur sehat ala Rasulullah.

"Alhamdulillah sudah delapan puluh persen. Doain yah, Na, biar lancar dan nggak ada halangan."

Aku mengangguk menanggapinya.

Menit berikutnya, Tantri menggenggam tanganku yang berada di atas meja dengan hangat.

Aku menatapnya dengan dahi berkerut keheranan, "Ada apa, Tan?"

Senyumnya masih tersungging di bibirnya, "Harusnya aku kan yang tanya begitu?"

"Apa sih maksudnya?" Tanyaku berusaha cuek seperti biasanya.

Alih-alih membalas tatapan lembutnya, aku malah membuang muka. Dan melepaskan genggaman tangannya begitu saja.

"Aku tahu ada yang nggak beres, Na.. Kita sesama muslim kan bersaudara, kamu bisa cerita ke aku, dan dengan senang hati aku akan mendengarkan. Dan mungkin memberi solusi, jika mampu tentunya."

Aku meringis. Apa begitu terlihat jelas yah?

Tentang DiaWhere stories live. Discover now