Daniel (c)

2.7K 169 5
                                    

Mataku membelalak. Sama sekali gak percaya dengan apa yang baru saja dikatakannya.

"Aku bisa kasih kamu waktu," Ia kembali melanjutkan. Aku bisa melihat matanya yang menatapku nanar, ada genangan air mata di dalam kelopaknya, dan aku begitu bodoh untuk sekedar bisa ngartiin tatapannya itu.

"Nana, Papa nggak mau kamu terpaksa dengan pertunangan ini." Suara Papa Nana yang tiba-tiba sudah mendekati putri sulungnya semakin membuatku merasa ciut.

Nana memberikan senyuman tipis pada Papanya. Dan detik itu, entah bagaimana, aku tau aku telah begitu bodoh dengan berani mengambil resiko untuk kehilangannya.

Aku menunduk. Bimbang. Ya, hatiku bimbang.

"Aku nggak akan terpaksa, Pa. Kalau Daniel mau setuju dengan syarat aku." Katanya dengan suara sejernih embun. Dan setitik embun itu seperti mengguyurku yang sudah lama terasa gersang. "Aku akan berusaha mencintai Daniel, jika nanti kami memang berjodoh."

Berusaha mencintaiku?

Aku mendongak, menatap dirinya yang masih berdiri di ambang pintu dengan air mata yang sudah membasahi wajahnya.

"Nak, jika itu akan menyakitimu, Papa fikir,,"

"Berapa lama waktu yang kamu berikan untukku berfikir?" Selaku, berusaha sekuat tenaga tetap berpijak dikedua kakiku, saat segala persendian di tubuhku terasa lemas.

Apa yang telah aku katakan? Apakah itu tandanya aku akan benar-benar memikirkan permintaannya?

Nana tampak menghela nafasnya, sejenak menatapku sendu, dan detik berikutnya ia menunduk, "Sampai anak itu lahir. Lakukan tes DNA . Dan kalau,, kalau bayi itu anak kandungmu, aku nggak akan menanyakan keputusanmu. Tapi kalau anak itu bukan anakmu," Ia mengangkat wajahnya, menatapku, "Aku bersedia untuk kamu nikahin kapanpun, dengan syarat yang aku ajuin tadi."

Aku mengangguk setuju, "Lima bulan lagi bayi itu lahir."

Ia bergumam pendek lalu membalikkan tubuhnya meninggalkanku. Papanya menatapku sejenak, lalu turut berlalu bersamanya.

--oOo--

"Wanita gila mana yang masih mau terima kamu jadi suaminya setelah tahu hubungan kita selama ini?" Nadine meradang saat kukatakan aku akan menunggu bayi yang dikandungnya lahir dan melakukan tes DNA, dan jika terbukti -seperti perkiraanku- bahwa bayi itu bukan anakku, maka aku akan segera menikahi Angelina.

Mengenai syarat yang diajukannya, aku akan berusaha memikirkannya sebaik mungkin. Biar bagaimanapun, aku akan semakin mencoreng muka keluargaku kalau-kalau aku menuruti kemauan Nana.

Dan dengan itu, aku membutuhkan mental baja.

Pelipisku berdenyut nyeri, saat Nadine kembali berteriak.

"Kalau kamu yakin bayi itu anak aku, harusnya kamu nggak perlu stress, Nad."

Ia menatapku, matanya membelalak lebar, "Bukan.. Aku bukannya ragu bayi ini anak kamu."

Aku tersenyum miring, mengabaikannya dan beranjak menuju kamar tamu. Kamar sementaraku sampai Nadine pergi dari sini.

"Daniel? Kamarmu di sini, Beb! Sama aku!" Ia berteriak lagi.

Dan demi Tuhan! Apa dia nggak khawatir pita suaranya pecah?!!

"Kecilkan suaramu. Ini bukan di tengah hutan yang nggak dijangkau manusia lainnya."

"Aku nggak perduli manusia lainnya. Aku cuma mau kamu sama aku."

"Tunggu sampai bayi itu lahir, oke?!" Aku menatapnya penuh peringatan. "Dan selama itu, urus hidup kita masing-masing."

"Daniel, kamu tega sama aku?" Suaranya mencicit. Memintaku mengasihaninya dengan wajah yang dibuat-buat memelas. "Sama anakmu juga." Tambahnya sembari membelai perutnya yang kian hari kian membuncit.

"Cukup yah, Nad. Kamu nggak bisa bodohin aku." Kataku dan berlalu begitu saja, benar-benar meninggalkannya.

--oOo--

Papa, sebagai pendeta di jama'atnya memuntahkan amarahnya mendengarku akan menikahi Nana dengan syarat yang diajukannya.

"Mama lebih baik lihat kamu nikah sama Nadine, daripada harus lihat kamu meninggalkan agama kita sekarang." Mama mengiba dengan air matanya di atas pangkuanku.

"Ma, aku belum pindah agama. Aku hanya sedang memikirkannya,"

"Jangan, Nak. Jangan fikirkan apapun. Agama apapun. Kita punya agama sejak kita dilahirkan, dan jadikan itu cukup bagimu. Jangan, Nak. Jangan fikirkan apapun."

Aku mengangkat tubuh Mama dan mendudukkannya di tempatku duduk semula, dan aku menatapnya dari bawah pangkuannya.

"Ma, dengar.."

"Mama nggak mau dengar apapun. Kamu Daniel anak Mama. Dan nggak akan mengorbankan agamanya cuma demi gadis yang nggak seberapa cantik, seperti Nana."

Aku tersenyum tipis, berusaha menenangkannya. "Aku belum mengambil keputusan, Ma. Aku ingin keputusan yang nanti kuambil adalah dari diriku sendiri. Bukan pengaruh siapapun." Mama menatapku sendu, membuat dadaku seperti tersayat-sayat melihatnya. "Aku cuma mau belajar, dan menentukan pada akhirnya. Dan kalau Nana mengubah fikirannya untuk nggak mau nikah sama aku, aku akan tetap belajar dan melihat segalanya dari sudut pandang hatiku." Kuhirup oksigen untuk mengisi paru-paruku, "Mama pernah bilang kalau hati nggak pernah bohong. Dan aku percaya itu."

Kukecup kelopak matanya yang tertutup dan masih basah oleh air mata. Lalu mendekapnya hangat, "Apapun nanti jadinya, Daniel mau minta maaf."

==>

Tentang DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang