Menata Hati (e)

2.4K 159 1
                                    

Daniel

*

*

*

Aku melihat tubuhnya melangkah dengan segera, nyaris seperti berlari saat meninggalkanku di halte dan memasuki taksinya.

Ia tak mengatakan apapun, juga sama sekali tak ingin bersusah payah meskipun hanya sekedar menoleh padaku.

Bahkan saat aku hendak melambai, ia memalingkan wajahnya.

Aku terdiam melihat taksi itu berlalu dari hadapanku.

Aku tak tau harus merasa bahagia atau sebaliknya. Yang pasti adalah aku kini telah kehilangannya...

Angelina. Ia memang benar-benar seperti malaikat dalam kehidupanku. Aku tak pernah sedemikian merasakan kesakitan saat melihatnya pergi meninggalkanku tanpa kata.

Sebelumnya aku berusaha menjadi diriku sendiri selama 5 bulan belakangan.

Tinggal di pondok pesantren, dan berusaha memahami segala yang kulihat dan kudengar.

Angelina adalah seperti cahaya yang meneragi gelapnya langkahku. Menuntunku tanpa kata dan sentuhan.

Ia adalah wanita tegar yang kutemui, yang kurindukan di malam-malamku, dan kucintai dengan sedemikian rupa.

Tapi ternyata Allah berkehendak lain. Tulang rusukku tidak berada padanya.

Aku tersenyum kecil saat menatap bangunan rumah sakit. Pada akhirnya mungkin inilah saatku berlabuh. Pada putriku dan Ibu dari putriku, Nadine.

Aku masih terduduk diam di halte sembari berusaha mencerna tiap kejadian demi kejadian.

Aku membenci Nana awalnya, memang benar.

Orang tuaku memaksaku kembali hanya demi gadis itu. Gadis yang sama sekali tak menarik di mataku, namun pada akhirnya ia terlalu menarik untuk hatiku.

Aku merangkai tiap pertemuan kami dalam ingatanku. Saat ia memasang wajah bosan di pagi hari dan aku malah memasang wajah kaku ketika menjemputnya untuk kuliah.

Bukan inginku mengantar - jemputnya setiap hari, tapi orang tuaku yang memaksa.

Menemaninya makan malam di luar rumah. Mie Ayam? Bakso? Sate kambing? Sop buntut? Dan bahkan sampai Bubur kacang ijo, semua adalah makanan pinggir jalan yang kuragukan kebersihannya.

Tapi melihatnya bersemangat menghabiskan makanannya, membuatku mau tak mau tersenyum takjub, meskipun tak kentara dan diam-diam.

Waktu kami untuk bersama memang tak pernah lama, hanya di pagi hari saat mengantarnya dan menjemputnya di sore hari dan berlanjut makan malam.

Itupun kami lalui dalam diam. Setiap kali kami berbicara, aku akan menyahutnya sinis dan sedikit berbicara cabul.

Aku tertawa mengingat setiap kebersamaan kami. Kenapa tidak sejak dahulu aku mengenalnya? Dan kenapa aku begitu bodoh, saat diberikan kesempatan untuk mengenalnya malah aku bersikap sinis dan tak bersahabat? Dan detik itu juga air mataku jatuh. Aku bodoh, ya aku terlalu bodoh dengan menyia-nyiakan kesempatan itu.

"Nana mana?" Suara lemah Nadine membuatku mengalihkan tatapanku dari barang-barang yang sedang kubenahi untuk beralih menatapnya.

"Ia langsung pulang." Sahutku sembari tersenyum.

Aku kembali merapihkan pakaian Nadine dan beberapa keperluan bayi dalam sebuah lemari yang telah disiapkan oleh pihak rumah sakit. Membiarkan ruangan ini hening sampai aku selesai dan melangkah ke arahnya.

Ia menatapku sembari tersenyum, "Mau kamu namai siapa putri kita?"

Menggaruk tengkukku, aku tersenyum kikuk, "Maaf, aku belum memikirkannya."

"Tak apa." Katanya lalu menepuk sisi ranjangnya, memintaku untuk duduk di sana. "Kamu kehilangan Nana, maafin aku."

"Kamu bicara apa?" Kataku sembari membelai puncak kepalanya dan tersenyum, tepatnya berusaha tersenyum, "Aku nggak kehilangan siapapun. Sekarang bahkan aku punya putri yang begitu cantik."

"Daniel, aku kenal kamu bukan sebulan dua bulan. Jangan bodohin aku."

"Besok kita menikah." Kataku tak lagi ingin dibantah atau mendengar pertanyaan-pertanyaannya seputar Nana.

"Tapi kamu nggak cinta aku, Dan!" Nadine menatapku dengan linangan air matanya.

"Aku harus lihat putriku dulu," Kataku mengalihkan pembicaraan.

"Daniel.." Nadine menahan lenganku.

Menghela nafasku panjang, aku menatapnya dengan ekspresi terluka, "Kamu tahu tanpa perlu aku kasih tahu." Aku menuntunnya untuk berbaring di ranjang, lalu membelai wajahnya, "Tapi yang pasti, aku akan menata hatiku lagi untukmu, untuk putri kita. Jangan menangis, oke?"

Ia terdiam, tampak terkejut mendengar kalimatku. Tak lama kemudian ia mengangguk.

"Dan tentang nama putri kita, aku akan memikirkannya terlebih dahulu. Aku pergi." Tambahku setelah menyelimutinya dan lalu pergi menuju ruangan bayi untuk melihat putriku.

Siapa kira-kira nama yang pantas untuknya? Bayi itu terlihat begitu mungil, bahkan aku takut untuk menyentuhnya. Khawatir membuatnya tersakiti.

Ia begitu cantik, seperti Nadine. Dan dia berhasil mempesonaku dengan sedemikian rupa.

Aku akan membahagiakanmu, Nak. Janjiku dalam gumaman.

==>>

Tentang DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang