Tatapan Seorang Seer

816 73 3
                                    

Ada darah mengering melintasi wajahnya. Keluar dari sedikit robekan pada salah satu sisi dahi, kemudian turun menganak sungai. Melewati pipi, terus dampai ke dagu dan berlanjut hingga lehernya yang tebal seperti karet, kemudian menghilang dibalik kerah jubah petualangnya yang berwarna gelap. Tiga sayatan kembar merobek sisi kiri badannya, menembus mantel pengelana, dan pelindung kulit di tubuhnya. Darah merah yang keluar dari sana sudah menghitam dan menggumpal.

Kemejanya robek pada bagian lengan kanan atas, menunjukkan lubang-lubang kecil membentuk suatu pola yang memberi kesan bahwa ada karnivora yang baru saja menggigitnya dengan kuat. Di sekitar bekas gigitan itu, kulitnya tampak membiru. Ada golok besar dalam genggamannya dimana debu melekat pada keringat yang mulai lengket. Bila diperhatikan, bagian besi dari golok itu banyak tertempel serabut-serabut rambut. Rambut milik beruang purba.

Dia belum beristirahat sejak hari dimana dia menggedor pintu penginapan sambil menggendong Gabe yang terluka. Itu berarti dia belum beristirahat sejak melarikan diri dari kejaran Angelo di Benedito. Semua terlihat jelas dari betapa lelah sorot matanya dan betapa lambat reaksinya. Kia cukup peka untuk melihat semua itu.

Dia memandangi satu persatu. Kia, Jane, sahabatnya yang sedang berbaring diam, pemilik penginapan, lalu dia memutuskan untuk bicara pada manusia yang terlihat paling tenang di antara mereka.

"Ulahmu?" Tanyanya.

"Mungkin bisa dibilang begitu.." jawab Kia.

"Katakan padaku..." dia berkata sambil berembus berat. Lelah. Terlalu lelah untuk menghajar seseorang, maka dia berbicara. "Apakah ini masih berguna?"

Jane menahan nafas saat Jake mengangkat tangan kirinya dan menunjukkan setangkai clover berdaun empat berlumur darah. Kia tahu, ia bahkan mampu melihat bahwa untuk mendapatkannya, orang ini harus menyingkirkan pemilik gunung tempat tanaman penyembuh segala kutukan itu tumbuh. Pastilah kawanan beruang purba yang sudah bermukim di daerah ini sejak ribuan tahun lalu.

Kia tersenyum. Kagum, namun juga ngeri. Orang di hadapannya ini bukan sekadar manusia. "Kau bisa simpan clover itu untuk keperluan lain. Aku sudah bicara dengan Undine yang Baik."

"Undine benci orang kota seperti kami." Jake masih saja curiga.

"Temanmu ini masih bernafas, kok." Jane menyahut dengan suara takut-takut dari sisi pembaringan. Mencoba melepaskan tangannya yang masih digenggam Gabe.

Jake menyimpan kembali daun clover itu pada tas selempang kulitnya, "baiklah, kalau begitu, kurasa ini saatnya kalian semua pergi dari ruangan ini."

Jane meluncur seperti ular laut menuju pintu keluar dan segera berderap menuruni tangga. Ludwig si pemilik penginapan mencoba untuk berada beberapa langkah di belakang Jane, namun dia gagal mengimbangi kecepatan gadis itu.

"Bila kau mau, aku elementer es, ..."

Namun Jake tidak menginginkan jasa penyembuhan yang gadis itu tawarkan, dia langsung menutup pintu sambil mengucapkan terima kasih yang singkat.

Gabe masih bernafas, sangat pelan. Di lantai ada genangan darah hitam dan belatung-belatung hijau menggeliat di sana. Itu kutukan sang banshee, sebagian dimuntahkan keluar dariperut korbannya. Ada bunyi becek yang terdengar saat Jake melumatkan semua belatung itu dengan sol sepatu botsnya. Setelah itu dia melepas alas kakinya dan meregangkan jari-jari kakinya yang penat. Ia bersandar, menjatuhkan segenap bobot tubuhnya ke atas sofa. Mengembuskan nafas lega, setidaknya dia bisa beristirahat sekarang.

Mata Kia masih mengusiknya.

Gadis itu punya tatapan mata yang bisa melihat jauh sekali. Jauh ke dalam dirinya, ke dalam jiwanya. Mirip dengan seseorang.

Clash of The Ancient Souls - EinherjarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang