S E M B I L A N

9.4K 303 7
                                    

"Apa yang aku punya aka tetap menjadi milikku."
🦋

[S E M B I L A N ]

Tidak ada yang boleh meremehkan seorang Daren. Dia pewaris satu-satunya dari 2 keluarga berpengaruh. Ayahnya berdiri sendiri membangun perusahaan properti terbesar, sedangkan kakeknya berlindung dibalik bayangan membangun perusahaan gelap.

"Lo udah main-main sama gue Gea," desisnya sembari menggenggam anting emas dengan liontin kupu-kupu.

Anting yang diberikannya ketika Daren mengklaim penuh atas diri Gaia.

Matanya yang tajam menatap tubuh perempuan yang sudah tak berdaya, terkapar di atas lantai yang dingin. Ia mendesis buas.

Daren telah dipermainkan.

Anting yang diberi alat pelacak dikenakan oleh orang suruhan Geo dan menyuruhnya untuk menuju bandara agar ia terkecoh. Dan sialnya ia memang terkecoh. Geo berhasil membuatnya seperti orang bodoh. Maka jangan salahnya ia jika menggunakan kekuasaan keluarganya untuk menemukan Gaia.

Daren tertawa begitu keras hingga menggema. Tangannya sudah penuh akan darah. Tak kurang dari 3 jam, ia sudah membuat 4 orang sekarat. Dan itu karena Gaia.

"Kakek," sapa Daren dengan suara lesu. Ponselnya berlumuran darah.

"Aku sudah tau apa yang terjadi. Minta tolong ke kakek saja. Skala tidak becus mengurus beginian. Apa mau mu?"

"Aku mau Gea-ku kembali dengan utuh tanpa lecet seujung kuku pun."

"Hanya itu?"

"Satu lagi. Buat Gea nggak bisa lihat ayahnya lagi."

"Hmm, 12 jam lagi kamu akan bertemu dengan Gea-mu itu. Haha, dasar anak muda."

Tut

Dan Gaia harusnya belajar dari Elo.

Ketika Elo hilang, Daren akan mencarinya sampai ketemu, tak peduli hingga larut sekalipun. Dan saat Elo ketemu, anjing itu tak pernah dibiarkan keluar dan rantai selalu menahan pergerakannya.

Maka, setelah Gaia ketemu. Daren akan pastikan, belenggu yang ia ciptakan akan lebih erat lagi.

✧✧✧


Daren tengah bersiul, kakinya polos tak mengenakan alas. Dinginnya marmer tak mampu mengalahkan dinginnya seorang Daren. Ia menatap interior ruangan yang menggemaskan, menurutnya.

Ada tengkorak manusia asli yang dipakai sebagai pajangan dinding, pun pisau serta senjata tajam berjejer rapi di balik kaca, seolah menjadi pemanis ruangan.

"Aku suka ruangan ini," gumamnya sembari mengambil salah satu pisau, menancapkan benda tajam itu ke jarinya pelan, merobek daging dan membiarkan bau anyir menyeruak.

Terakhir sebagai pemanis, dihisapnya darah itu hingga cairan kental memenuhi mulutnya. Ia tersenyum buas. Daren suka darah.

"Kalau mau, kamu boleh kesini setiap hari," ujar pria tua dengan kaos hitam santai bergambar harimau. Kakinya sudah taj diperban lagi, luka yang diciptakan Elo sudah sembuh. q

Daren terkekeh, ia membersihkan mulutnya yang penuh darah. Jarinya sudah berhenti mengeluarkan cairan anyir itu. Ia mengeluh sedih, tapi tak apa. Sebentar lagi kebahagiaan akan mendatanginya.

"Skala udah tau kamu di sini?" tanya Arga sembari meraih anak panah yang ujungnya terdapat darah yang sudah menghitam, kering.

"Tau," ujarnya sembari menunjuk lengan atasnya yang seperti ada bekas jahitan. "Daddy tanam pelacak di sini," lanjutnya.

Arga tertawa kecil, tangannya yang keriput mengusap pelan surai coklat milik cucunya. Kontras dengan miliknya yang sudah memutih.

Atensi keduanya teralihkan pada suara gaduh yang terdengar. Teriakan buas menggema membuat atmosfer terkikis sempurna. Skala datang dengan mata yang memerah penuh amarah yang siap meletup kapan saja, ia menatap penuh benci pada Arga yang hanya dibalas tawa kecil pria tua itu.

"Daren, pulang!" desisnya. Skala mendekat, sepatu pantofel-nya terdengar nyaring mengisi kekosongan.

"Nggak mau."

"Kamu mau Gaia kan? Daddy bisa cari dia sampai ketemu. Sekarang pulang, jangan di sini."

Daren menghindar kala lengannya berusaha dicekal. Ia mendengus. "Sebentar lagi Gea bakal datang. Aku nggak butuh Daddy lagi."

Dalam hidupnya, Daren hanya pernah melihat Skala marah besar sebanyak tiga kali. Pertama, waktu ia diculik saat usianya 10 tahun, waktu ia membentak sang ibu, dan sekarang, ketika Daren mengorbankan hidupnya demi Gaia.

Skala mencengkram lengan putranya, ia menatap mata Daren dengan tajam. Berusaha berkomunikasi melalui netra keduanya yang terlihat sama.

"Kamu tau konsekuensi berurusan sama kakek?" tanya Skala pelan.

"Tau. Aku harus jadi bagian keluarga ini kan?" jawab Daren santai.

Skala tertawa remeh. "Kamu siap lihat begini tiap hari?"

Belum sempat Daren menjawab, pria berusia 38 tahun itu menarik belati dari balik jasnya. Ia berbalik lalu menancapkan benda tajam itu ke leher salah satu pengawalnya hingga daging itu koyak dan pisau berhasil menembus hingga ke belakang leher. Suara darah yang bercucuran terdengar memilukan. Tak sampai disitu, Skala mencabut dengan paksa lalu menancapkan ke mata pengawalnya hingga bulatan besar yang disebut mata itu pecah.

Cairan merah membanjiri lantai marmer, terlihat samar dengan kepekatan lantai yang nampak hitam.

Lengang.

Semua yang melihat itu terlihat gentar meski setiap hari mereka melakukan hal yang sama bahkan lebih kejam. Skala berbalik, ia mengusap wajahnya yang terkena cipratan darah. Mengelap belatinya yang terdapat potongan daging di ujung.

"Kamu siap ngelihat itu setiap hari?" tanya Skala tenang tanpa menatap putranya yang tengah mematung.

Skala mendongak, ia berganti terpaku kala Daren tertawa tanpa suara, memperlihatkan taringnya yang mengerikan. Wajahnya terlihat dingin dan kembali merenggut atmosfer yang tadi dikuasai Skala.

"Siap, aku suka darah."

Dan detik itu juga Daren telah mengorbankan hidupnya. Ia telah masuk ke dalam dunia yang seharusnya tak ia kunjungi.

Besok ketika ia membuka mata, tak akan ada hal yang sama. Daren mempertaruhkan banyak hal demi bertemu dengan Gaia. Bertemu dengan buminya.

TBC
840 kata

terima kasih sudah baca sampai akhir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

terima kasih sudah baca sampai akhir

Darenio [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang