20. Yakin

19.5K 2K 135
                                    

Chapter 20. Yakin

Biasanya, sore-sore seperti ini ART yang akan menyapu halaman rumah. Namun, karena ART itu masih dalam masa cuti, kali ini Ziva yang melakukannya. Matanya gatal melihat banyak daun kering yang berjatuhan di halaman rumah dan juga di depan gerbang.

Menaruh sapu lidinya di tembok sisi gerbang, Ziva berjalan ke arah bak sampah untuk membuang semua dedaunan kering dalam serokan. Ia berdecak ketika melihat banyaknya dedaunan kering yang dia sapu. Sepertinya ia harus menyuruh Sagara mencari orang untuk memotong pohon hias yang menjulang tinggi yang tumbuh tepat di sisi halaman rumahnya––bersebelahan dengan gerbang rumah.

Sebuah mobil yang berhenti tepat disisinya, mengalihkan atensi Ziva. Perempuan itu menoleh dan lantas berdecak tatkala tahu siapa pemilik mobil itu. Altair Gardapati. Ia cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya untuk buru-buru masuk ke rumah.

Tepat saat Ziva berbalik ingin masuk ke rumahnya, Altair turun dan buru-buru menahan Ziva dengan cara mencekal lengannya dan menarik Ziva mendekat, membuat serokan yang ada di genggaman Ziva terjatuh.

Ziva tersentak. Ia menatap Altair kesal dan mencoba melepaskan cekalan Altair. "Lepas!" bentaknya.

Altair menggeleng. "Gue perlu bicara sama lo, Ziva."

"Nggak ada yang perlu di omongin lagi. Lepas, Altair. Jangan lancang." kata Ziva dingin. Sorot matanya begitu tajam saat menatap Altair. Syarat akan ketidaksukaan. Ia memukul lengan Altair dengan satu lengannya yang lain, agar cowok itu mau melepaskannya.

"Ada. Dan ini penting," tekan Altair.

"Bagi lo, tapi bagi gue nggak!" sentak Ziva. Ziva mendesis saat merasa cekalan Altair bertambah kuat di lengannya. "Lepasin, Altair. Sakit,"

"Oke, gue bakal lepasin. Tapi izinin gue buat bicara sama lo,"

Ziva menghela napas. "Oke."

Altair lantas melepaskan cekalannya. Ia jadi menyesal saat lengan Ziva terlihat memerah. Tapi mau bagaimana lagi? Ziva selalu menghindar darinya. Altair ingin meraih lengan Ziva tapi Ziva menepis lebih dulu.

Ziva berdecak. Tidak mungkin Ziva berlama-lama dengan Altair. Ia sudah berjanji pada Sagara untuk tidak berdekatan dengan Altair. Maka dari itu, tatkala Ziva berlari ingin meninggalkan Altair, Altair lagi-lagi menahannya seperti sudah tahu kalau dia tidak akan memberinya kesempatan untuk berbicara dengan mudah.

Altair menarik Ziva lalu mendorongnya pelan ke tembok. Air muka Ziva nampak sangat terkejut dan ketakutan, tapi Altair tidak peduli. Ia benar-benar sudah kesal karena Ziva terus menghindar dan selalu ada menghalanginya untuk bertemu perempuan itu.

Altair menumpukan tangannya di kedua sisi Ziva, agar Ziva tidak bisa menghindar lagi. Ziva nampak menatapnya dingin serta napasnya yang memburu, menandakan bahwa dia terlihat sangat kesal. Seolah memberi atensi pada Altair, bahwa Altair tidak penting lagi di hidup Ziva sampai-sampai melihatnya saja perempuan itu muak.

"Lo apa-apaan sih?!" decak Ziva.

"Gue udah bilang, kalau gue mau, ya mau. Gue nggak akan lepasin lo gitu aja, Ziva." tekan Altair. Ia menatap Ziva begitu serius.

Ziva memalingkan muka, tidak mau menatap Altair. "Apa lagi yang mau lo omongin?"

Tatapan Altair kini meredup. "Ziva, kasih gue kesempatan––"

"Nggak." tolak Ziva langsung. Ia menatap Altair datar. "Nggak mau dan nggak akan pernah. Ngerti?"

"Kenapa?!" tanya Altair lirih. Penolakan Ziva benar-benar melukai hati dan juga egonya. Ia mendekatkan wajahnya, hingga membuat Ziva merasa panik. Tangan perempuan itu terangkat hendak memberi sebuah tamparan, namun Altair menggagalkannya. Ia menggenggam lengan Ziva.

Figuran Wife [Republish]Where stories live. Discover now